Marriage

Beberapa bulan terakhir, orang-orang terdekat saya ikut sibuk mengomentari orang-orang yang menikah. Bagi saya, bukan sesuatu yang spesial. Tapi bagi orang-orang tersebut, ada sesuatu yang janggal: kedua mempelai menganut agama yang berbeda. Ini kira-kira komentar orang-orang tersebut yang saya ingat:

”Itu kan ngawur”
“Bukannya jadi ribet ya urusannya? Administrasinya?”
“Haram itu!”
dan sebagainya.

Sampai akhirnya, salah satu teman dekat saya sendiri melanggengkan ritual yang dianggap meresahkan oleh orang-orang yang berkomentar tadi. Menikah beda agama. Mempelai laki-laki namanya Fachmi, agamanya Islam. Sedangkan yang perempuan bernama Chikita, agamanya Katolik. Ketika acara keagamaan untuk melegalkan pernikahan hendak digelar, komentar-komentar yang sebelumnya sudah saya tuliskan di atas kembali muncul.

Sampai pada akhirnya, hari kebesaran bagi keduanya tiba. Karena satu dan lain hal, acara resepsi pernikahan diundur. Jadi yang berlangsung hanya acara keagamaan saja. Prosesnya menurut saya berlangsung unik. Sehari dilakukan dengan pemberkatan secara Katolik, besoknya dilakukan dengan cara Islam melalui akad nikah. Jadi intinya agar keduanya bisa legal secara agama masing-masing.

Pada saat pemberkatan, saya ditunjuk sebagai pendamping pengantin pria. Entah bagaimana komentar orang-orang yang kontra tadi kalau tahu saya sendiri justru terlibat di salah satu hal yang dianggap buruk oleh mereka. Upacara berlangsung lancar. Kalau kata salah satu dosen saya, Gunawan Tjahjono, ini sudah bukan toleransi lagi, karena toleransi itu hanya sebatas membiarkan. Ini sudah memasuki ke fase di atas toleransi, yang sangat dibutuhkan di Indonesia. Ini lah fase menghargai antar sesama yang sesungguhnya. Pemberkatan berlangsung di salah satu gereja megah di Bintaro. Yang menarik, banyak ibu-ibu yang berjilbab ikut masuk dan mengikuti prosesi pemberkatan dari awal hingga akhir.

Selama pidato keagamaan pun, pemimpin upacara ini, sang Pastor, sama sekali tidak pernah menyentil kalimat “Ini tindakan ngawur lho,”.

Esoknya, akad nikah juga berlangsung khitmad. Dilakukan secara Islam di sebuah gedung hotel di Kemang, proses yang kedua ini juga berjalan dengan baik. Proses menghargai juga dilakukan dari pihak Chikita dengan mengikuti prosesi dari awal hingga akhir. Selama ceramah keagamaan usai akad berlangsung, sang Ustadz juga tidak menyebutkan kalimat “Ini haram lho,”.

Akhirnya kedua upacara keagamaan tersebut usai. Sah! Keduanya menjadi pasangan suami istri yang resmi secara keyakinannya masing-masing. Luar biasa. Karena menurut saya inilah definisi pernikahan yang sesungguhnya. Menurut saya, pernikahan adalah momen ketika kedua belah pihak yang berbeda menjadi satu. Dua hal yang berbeda membaur. Lalu kenapa masih ada yang memperdebatkan, jika pernikahan adalah menyatukan kedua perbedaan itu sendiri? Kenapa harus dipaksakan dengan hal yang sama, ciri yang sama, identitas yang sama, keyakinan yang sama, suku yang sama, atau status sosial ekonomi yang sama?

Kenapa tidak sekalian menghalalkan pernikahan sejenis saja?

“Keep Calm and Marry On”

image

4 thoughts on “Marriage

Leave a comment