Menggali Kejayaan dalam Kota yang Terkubur: Trowulan

Udah lama banget saya nggak posting. Ada banyak kerjaan dan tidak sempat menulis, akhirnya sekarang sempat lagi. Tulisan lama sebetulnya, dan ini mungkin postingan pertama saya yang serius. Selamat membaca.

***

      Setiap negara membutuhkan ibukota. Dengan hadirnya ibukota, sistem pemerintahan di dalam sebuah negara dapat menjadi lebih terpusat dan terkontrol dengan baik. Seperti Jakarta masa kini, yang menjadi pusat pemerintahan Republik Indonesia. Pusat pemerintahan, pusat perdagangan hampir semua kontrol berada di Jakarta. Karena terpusat di Jakarta, maka orang-orang yang berada di balik pemerintahan pun bermukim di Jakarta. Selain itu, dengan terpusatnya pembangunan di Jakarta, pola transaksi ekonomi, transaksi politik, bahkan transaksi sosio kultural pun terjadi, sehingga menimbulkan sebuah kompleksitas di dalam masyarakatnya. Karena terpusat pula, maka pembangunan di ibukota ini harus yang terbaik. Pembangunan fisik, pencegahan bencana, pengaturan pengairan, pemerintah sudah menyiapkan itu semua.

            Namun di tulisan ini saya tidak akan membahas mengenai Jakarta, tapi mengajak untuk kembali ke masa lalu, pada medio abad 14-15 Masehi. Terdapat sebuah kota bernama Trowulan, yang saat ini masuk ke dalam wilayah Jawa Timur, di mana para arkeolog sepakat bahwa kota tersebut adalah ibukota kerajaan terbesar di Nusantara: Majapahit. Sejak sisa-sisa bangunan ditemukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles yang merupakan Gubernur Jawa pada saat itu, banyak para arkeolog yang kemudian tertarik untuk meneliti dan menggali sisa-sisa kejayaan Majapahit ini.[1] Para arkeolog dan sejarawan kemudian menggunakan Kakawin Nagarakretagama, sebuah syair peninggalan kerajaan, sebagai referensi utama dalam menganalisis Trowulan.

            Kakawin Nagarakretagama sendiri berisikan tentang kehidupan sosial-politik, keagamaan, kebudayaan, adat istiadat dan kesusastraan yang ditulis dalam bahasa syair menggunakan tulisan aksara Jawa-Bali.[2] Dalam definisi Gideon Sjoberg, seorang sosiolog dalam tulisannya yang berjudul The Origin and Evolution of Cities (1965), masuknya sebuah tulisan bisa menjadi tanda awal terbentuknya sebuah kota. Dengan adanya sebuah tulisan, maka memungkinkan terjadinya pencatatan sejarah, hukum, literatur dan kepercayaan agama.[3] Dalam tulisannya pula, Sjoberg menjelaskan bahwa perkembangan masyarakat perkotaan akan menjadi lebih kompleks dan heterogen: hal yang sama yang terjadi pada Trowulan pada masa jayanya. Faktanya, Trowulan saat itu juga mengalami kompleksitas pada masyarakatnya karena adanya perdagangan dan pembagian kerja. Klasifikasi masyarakat di Trowulan bisa terlihat dari naskah Cina yang berjudul Ying-yai Sheng-lan (Survei Menyeluruh Kawasan Pantai-pantai). Survei di Trowulan dilakukan pada Maret-Juli 1432 oleh Ma Huan, salah seorang penerjemah dan ahli tafsir Laksamana Cheng Ho.[4] Dalam naskahnya, Ma Huan bercerita tentang penggolongan masyarakat yang tinggal di Trowulan: masyarakat lokal yang kebanyakan menganut agama Hindu-Budha, serta para pedagang yang kebanyakan menganut agama Islam serta orang-orang Cina yang juga beragama Islam. Guru besar Universitas Indonesia bidang Arkeologi  Hariani Santiko pernah menyebutkan pada majalah National Geographic Indonesia pada edisi September 2012, “Majapahit dibentuk dalam budaya multikultur”. Sedangkan pada pembagian kerja, terdapat pengrajin, nelayan dan pedagang berdasarkan hasil penemuan para arkeolog di situs Trowulan berupa tembikar, kail dan jala, serta timbangan.[5] Bentuk kompleksitas masyarakat melalui pembagian kerja ini sudah meninggalkan tatanan yang disebut Sjoberg sebagai Folk Society, masyarakat tradisional yang homogen.

            Konsep perkotaan sebenarnya belum ada di kerajaan Majapahit, dan tidak tertulis pada Kakawin Nagarakretagama. Para sejarawan dan antropolog pun kesulitan untuk menganalisis Trowulan karena minimnya sumber data. Maka dari itu tidak ditemukan angka yang akurat mengenai berapa kira-kira jumlah populasi penduduk Trowulan pada saat itu. Trowulan pada saat itu bagaikan Mesopotamia yang diapit dua sungai. Sungai yang mengapit Trowulan adalah Sungai Brangkal dan Sungai Ginting. Menurut Unesco, luas kotanya sekitar 11×9 km. Namun pencetusan Trowulan sebagai sebuah ibukota dari kerajaan Majapahit bukan tanpa alasan: terdapat sebuah kemajuan peradaban melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dibuktikan salah satunya melalui bangunan air. Jika dilihat dalam analisis Childe, perkembangan teknologi melalui sistem kanal air ini sudah menunjukkan suatu ciri bahwa daerah tersebut adalah kota.

Pada perkembangannya, Trowulan dikenal sebagai sebuah mahakarya, kota yang mampu memanfaatkan air dengan maksimal melalui bangunannya. Sebuah studi oleh tim Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyebutkan melalui foto udaranya, bahwa Trowulan adalah sebuah kota dengan sistem kanal yang tertata dengan rapi. Dalam Kakawin Nagarakretagama dituliskan dengan bahasanya, “bersabuk parit”, di mana para sejarawan dan arkeolog percaya bahwa yang dimaksud parit adalah kanal. Pembangunan kanal juga berfungsi untuk mengurangi kemungkinan banjir pada musim hujan dengan membangun waduk, dan kekeringan pada musim panas dengan membentuk sistem irigasi ke areal persawahan. Penelitian sejauh ini sudah menemukan 20 waduk kuno[6] yang tersebar di penjuru kota. Selain itu juga dibangun kolam-kolam buatan untuk menampung air di Trowulan. Air-air ini kemudian disalurkan melalui gorong-gorong yang berdiameter cukup besar, bahkan orang dewasa bisa memasukinya[7] untuk kepentingan penduduk. Terdapat sebuah situs yang bernama Candi Tikus, yang digunakan sebagai pemandian umum oleh penduduk pada saat itu. Penelitian juga menemukan saluran air yang lebih kecil lagi, menggunakan pipa sebagai tempat penyalurannya. Pipa-pipa ini mengaliri sawah-sawah, serta untuk kebutuhan di masing-masing rumah.

             Dari segi tata bangunan kota, Trowulan memiliki bentuk pemukiman menyerupai mandala[8]. Maka di sini, raja bermukim di tengah-tengah kota dan dikelililngi oleh bawahan-bawahannya, lalu dikelilingi lagi oleh penduduknya dari strata paling atas hingga bawah sampai titik terluar Trowulan. Tempat raja bermukim dinamakan Balai, yang memiliki bentuk bangunan megah dan kuat. Kakawin Nagarakretagama menggambarkannya dengan “rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-warni”. Sementara, bentuk bangunan perumahan penduduk kebanyakan memiliki dinding dan atap dari kayu dan bambu. Besarnya rumah juga dapat dibedakan sesuai strata, ada yang kecil, menengah dan besar.[9] Para arkeolog juga menemukan gerbang-gerbang masuk di sisi sebelah Selatan kota, walaupun pada Kakawin Nagarakretagama tertulis bahwa terdapat gerbang di sisi Barat dan Utara. Gerbang di Selatan terbagi menjadi dua jenis, yaitu tanpa atap dan beratap dengan bahan bangunan dari batu-bata. Jika dibandingkan dengan contoh kasus The Polis dalam tulisan HDF Kitto (1951), Trowulan bukanlah suatu kota yang menyerupai Polis. Pembangunan Trowulan lebih mengutamakan kepada teknologi dan perdagangan, ketimbang mementingkan kepentingan intelektual penduduknya seperti Polis. Polis juga membangun kotanya agar berdaya bersama –sifatnya komunistik, sedangkan Trowulan dengan kompleksitas masyarakatnya yang cukup tinggi tidak memungkinkan hal itu terjadi. Bangunan yang bersifat komunal sejauh ini yang ditemukan hanya situs pemandian Candi Tikus.

            Namun sepertinya kerajaan Majapahit tidak didesain untuk bertahan lama. Masa keemasan Majapahit ditandai pada era kepemimpinan Raja Hayam Wuruk dengan patihnya yang terkenal, Gajah Mada. Tapi tidak adanya regenerasi kepemimpinan menjadi malapetaka awal kehancuran kerajaan ini, yang diikuti juga dengan kehancuran Trowulan. Perang antar keluarga terjadi yang bertujuan untuk perebutan takhta. Invasi dari kerajaan lain pun mulai gencar. Namun ada faktor lain yang juga tidak bisa disangkal oleh penduduk kerajaan sebelum kehancuran: bencana alam.

            Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Rovicky Dwi Putrohari menyebutkan analisanya mengenai kehancuran Trowulan berdasarkan Pararaton[10]. Tahun 1334 M, terjadi sebuah bencana alam[11] yang dituliskan Pararaton sebagai Banyu Pindah. Secara bahasa, Banyu Pindah berarti air yang berpindah. Rovicky menjelaskan dalam tulisan di dalam blognya[12], bahwa Banyu Pindah berarti sebuah banjir yang besar. Banjir ini sebenarnya sudah terjadi secara tahunan. Tercatat melalui Prasasti Kelagyan di tahun 1037 M, delta Brantas[13] juga sempat meluap memenuhi pemukiman penduduk. Pembangunan kanal adalah tindakan preventif yang dapat dilakukan oleh pemerintah Majapahit agar peristiwa banjir tersebut dapat dikurangi. Adanya aktifitas vulkanik Gunung Kelud yang saat itu sangat aktif juga semakin mengubur kejayaan Trowulan. Dalam catatan Pararaton, tahun 1374 M tercatat adanya sebuah aktifitas yang dinamakan Pagunung Anyar, secara harafiah berarti gunung yang baru. Pagunung Anyar diyakini sebagai sebuah erupsi vulkanik Gunung Kelud, kemudian menimbulkan banjir lahar yang mengalir melalui aliran sungai dan mengenai pemukiman penduduk Trowulan. Turunnya Hayam Wuruk dan muncul perang saudara memperparah hal ini. Banjir serta penyakit bermunculan. Adanya perang mengakibatkan kanal-kanal rusak dan sulit untuk diperbaiki. Ibukota pun sempat pindah ke Daha[14] karena situasi Trowulan yang sudah tidak kondusif sebagai ibukota.[15] Puncaknya: perebutan kekuasaan Majapahit oleh kerajaan Demak. Tepat tahun 1478 M, Pararaton menuliskan “Sunya Nora Yuganing Wong”, yang berarti kosong tanpa awak manusia dan diyakini sebagai akhir dari kejayaan Majapahit.

            Prosesi kehancuran Trowulan ini, bisa dikaitkan dengan artikel Jotham Johnson berjudul The Slow Death of A City (1954). Johnson menceritakan bagaimana sebuah kota di Italia bernama Minturnae hancur secara perlahan, dan membutuhkan waktu berabad-abad. Kehancurannya, sama seperti Trowulan juga dipicu oleh perang, bencana alam, bahkan juga pencurian. Fakta mengenai bagaimana Trowulan sebenarnya pun masih samar hingga saat ini, karena para arkeolog belum sepenuhnya “membersihkan” Trowulan. Seiring dengan berkembangnya jaman, para warga sekitar yang pada umumnya berprofesi sebagai pengrajin berusaha mencuri beberapa sisa pembangunan kota tersebut. Salah seorang arkeolog dari Pusat Arkeolog Nasional, kepada majalah National Geographic Indonesia pernah mengatakan, “sebagian besar susunan batu batanya sudah amburadul akibat pencarian emas besar-besaran pada 1960-1970-an”. Proses vandalisme itu bahkan masih terjadi, sampai sekarang. Dan yang tersisa hanyalah sebuah situs yang menjadi lahan penelitian arkeolog, dengan sekopnya, sama seperti yang Johnson ungkapkan pada Minturnae.

***

 


[2] http://majapahit1478.blogspot.com/p/negarakertagama.html diakses pada tanggal 25 Februari 2013 pukul 0.50 WIB.

[3] Sjoberg, Gideon. (1965, September). The Origin and Evolution of Cities. Scientific American vol 213 no 3, 55

[4] http://my.opera.com/waoneoi/blog/2012/09/16/metropolitan-yang-hilang diakses pada tanggal 25 Februari 2013 pukul 1.47 WIB. Artikel ini berisi tentang tulisan majalah National Geographic Indonesia edisi September 2012 berjudul Metropolitan yang Hilang.

[5] http://www.bimbie.com/trowulan.htm diakses pada tanggal 25 Februari 2013 pukul 1.34 WIB.

[6] http://majapahit1478.blogspot.com/2011/06/situasi-kota-majapahit-4.html diakses pada tanggal 25 Februari pukul 3.26 WIB

[7] Ibid

[8] Mandala dalam bahasa sanskerta berarti lingkaran. Istilah ini digunakan oleh penganut agama Hindu dan Budha.

[9] http://my.opera.com/waoneoi/blog/2012/09/16/metropolitan-yang-hilang diakses pada tanggal 25 Februari 2013 pukul 4.22 WIB

[10] Pararaton berisikan tentang pencatatan kejadian-kejadian penting dalam masa kerajaan Singasari dan Majapahit, namun penulisnya masih belum diketahui.

[11] Namun Pararaton tidak menjelaskan secara detil kejadian bencana dan imbasnya terhadap penduduk setempat.

[13] Delta Brantas adalah tempat bermuaranya sungai Ginting dan Sungai Brangkal.

[14] Daha adalah sebuah daerah yang saat ini bernama Kediri, Jawa Timur.

[15] http://kabarpesisir.blogspot.com/2011/07/daha-beteng-terakhir-majapahit-1.html diakses pada tanggal 25 Februari 2013 pukul 6.49 WIB.