Menggali Kejayaan dalam Kota yang Terkubur: Trowulan

Udah lama banget saya nggak posting. Ada banyak kerjaan dan tidak sempat menulis, akhirnya sekarang sempat lagi. Tulisan lama sebetulnya, dan ini mungkin postingan pertama saya yang serius. Selamat membaca.

***

      Setiap negara membutuhkan ibukota. Dengan hadirnya ibukota, sistem pemerintahan di dalam sebuah negara dapat menjadi lebih terpusat dan terkontrol dengan baik. Seperti Jakarta masa kini, yang menjadi pusat pemerintahan Republik Indonesia. Pusat pemerintahan, pusat perdagangan hampir semua kontrol berada di Jakarta. Karena terpusat di Jakarta, maka orang-orang yang berada di balik pemerintahan pun bermukim di Jakarta. Selain itu, dengan terpusatnya pembangunan di Jakarta, pola transaksi ekonomi, transaksi politik, bahkan transaksi sosio kultural pun terjadi, sehingga menimbulkan sebuah kompleksitas di dalam masyarakatnya. Karena terpusat pula, maka pembangunan di ibukota ini harus yang terbaik. Pembangunan fisik, pencegahan bencana, pengaturan pengairan, pemerintah sudah menyiapkan itu semua.

            Namun di tulisan ini saya tidak akan membahas mengenai Jakarta, tapi mengajak untuk kembali ke masa lalu, pada medio abad 14-15 Masehi. Terdapat sebuah kota bernama Trowulan, yang saat ini masuk ke dalam wilayah Jawa Timur, di mana para arkeolog sepakat bahwa kota tersebut adalah ibukota kerajaan terbesar di Nusantara: Majapahit. Sejak sisa-sisa bangunan ditemukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles yang merupakan Gubernur Jawa pada saat itu, banyak para arkeolog yang kemudian tertarik untuk meneliti dan menggali sisa-sisa kejayaan Majapahit ini.[1] Para arkeolog dan sejarawan kemudian menggunakan Kakawin Nagarakretagama, sebuah syair peninggalan kerajaan, sebagai referensi utama dalam menganalisis Trowulan.

            Kakawin Nagarakretagama sendiri berisikan tentang kehidupan sosial-politik, keagamaan, kebudayaan, adat istiadat dan kesusastraan yang ditulis dalam bahasa syair menggunakan tulisan aksara Jawa-Bali.[2] Dalam definisi Gideon Sjoberg, seorang sosiolog dalam tulisannya yang berjudul The Origin and Evolution of Cities (1965), masuknya sebuah tulisan bisa menjadi tanda awal terbentuknya sebuah kota. Dengan adanya sebuah tulisan, maka memungkinkan terjadinya pencatatan sejarah, hukum, literatur dan kepercayaan agama.[3] Dalam tulisannya pula, Sjoberg menjelaskan bahwa perkembangan masyarakat perkotaan akan menjadi lebih kompleks dan heterogen: hal yang sama yang terjadi pada Trowulan pada masa jayanya. Faktanya, Trowulan saat itu juga mengalami kompleksitas pada masyarakatnya karena adanya perdagangan dan pembagian kerja. Klasifikasi masyarakat di Trowulan bisa terlihat dari naskah Cina yang berjudul Ying-yai Sheng-lan (Survei Menyeluruh Kawasan Pantai-pantai). Survei di Trowulan dilakukan pada Maret-Juli 1432 oleh Ma Huan, salah seorang penerjemah dan ahli tafsir Laksamana Cheng Ho.[4] Dalam naskahnya, Ma Huan bercerita tentang penggolongan masyarakat yang tinggal di Trowulan: masyarakat lokal yang kebanyakan menganut agama Hindu-Budha, serta para pedagang yang kebanyakan menganut agama Islam serta orang-orang Cina yang juga beragama Islam. Guru besar Universitas Indonesia bidang Arkeologi  Hariani Santiko pernah menyebutkan pada majalah National Geographic Indonesia pada edisi September 2012, “Majapahit dibentuk dalam budaya multikultur”. Sedangkan pada pembagian kerja, terdapat pengrajin, nelayan dan pedagang berdasarkan hasil penemuan para arkeolog di situs Trowulan berupa tembikar, kail dan jala, serta timbangan.[5] Bentuk kompleksitas masyarakat melalui pembagian kerja ini sudah meninggalkan tatanan yang disebut Sjoberg sebagai Folk Society, masyarakat tradisional yang homogen.

            Konsep perkotaan sebenarnya belum ada di kerajaan Majapahit, dan tidak tertulis pada Kakawin Nagarakretagama. Para sejarawan dan antropolog pun kesulitan untuk menganalisis Trowulan karena minimnya sumber data. Maka dari itu tidak ditemukan angka yang akurat mengenai berapa kira-kira jumlah populasi penduduk Trowulan pada saat itu. Trowulan pada saat itu bagaikan Mesopotamia yang diapit dua sungai. Sungai yang mengapit Trowulan adalah Sungai Brangkal dan Sungai Ginting. Menurut Unesco, luas kotanya sekitar 11×9 km. Namun pencetusan Trowulan sebagai sebuah ibukota dari kerajaan Majapahit bukan tanpa alasan: terdapat sebuah kemajuan peradaban melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dibuktikan salah satunya melalui bangunan air. Jika dilihat dalam analisis Childe, perkembangan teknologi melalui sistem kanal air ini sudah menunjukkan suatu ciri bahwa daerah tersebut adalah kota.

Pada perkembangannya, Trowulan dikenal sebagai sebuah mahakarya, kota yang mampu memanfaatkan air dengan maksimal melalui bangunannya. Sebuah studi oleh tim Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyebutkan melalui foto udaranya, bahwa Trowulan adalah sebuah kota dengan sistem kanal yang tertata dengan rapi. Dalam Kakawin Nagarakretagama dituliskan dengan bahasanya, “bersabuk parit”, di mana para sejarawan dan arkeolog percaya bahwa yang dimaksud parit adalah kanal. Pembangunan kanal juga berfungsi untuk mengurangi kemungkinan banjir pada musim hujan dengan membangun waduk, dan kekeringan pada musim panas dengan membentuk sistem irigasi ke areal persawahan. Penelitian sejauh ini sudah menemukan 20 waduk kuno[6] yang tersebar di penjuru kota. Selain itu juga dibangun kolam-kolam buatan untuk menampung air di Trowulan. Air-air ini kemudian disalurkan melalui gorong-gorong yang berdiameter cukup besar, bahkan orang dewasa bisa memasukinya[7] untuk kepentingan penduduk. Terdapat sebuah situs yang bernama Candi Tikus, yang digunakan sebagai pemandian umum oleh penduduk pada saat itu. Penelitian juga menemukan saluran air yang lebih kecil lagi, menggunakan pipa sebagai tempat penyalurannya. Pipa-pipa ini mengaliri sawah-sawah, serta untuk kebutuhan di masing-masing rumah.

             Dari segi tata bangunan kota, Trowulan memiliki bentuk pemukiman menyerupai mandala[8]. Maka di sini, raja bermukim di tengah-tengah kota dan dikelililngi oleh bawahan-bawahannya, lalu dikelilingi lagi oleh penduduknya dari strata paling atas hingga bawah sampai titik terluar Trowulan. Tempat raja bermukim dinamakan Balai, yang memiliki bentuk bangunan megah dan kuat. Kakawin Nagarakretagama menggambarkannya dengan “rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-warni”. Sementara, bentuk bangunan perumahan penduduk kebanyakan memiliki dinding dan atap dari kayu dan bambu. Besarnya rumah juga dapat dibedakan sesuai strata, ada yang kecil, menengah dan besar.[9] Para arkeolog juga menemukan gerbang-gerbang masuk di sisi sebelah Selatan kota, walaupun pada Kakawin Nagarakretagama tertulis bahwa terdapat gerbang di sisi Barat dan Utara. Gerbang di Selatan terbagi menjadi dua jenis, yaitu tanpa atap dan beratap dengan bahan bangunan dari batu-bata. Jika dibandingkan dengan contoh kasus The Polis dalam tulisan HDF Kitto (1951), Trowulan bukanlah suatu kota yang menyerupai Polis. Pembangunan Trowulan lebih mengutamakan kepada teknologi dan perdagangan, ketimbang mementingkan kepentingan intelektual penduduknya seperti Polis. Polis juga membangun kotanya agar berdaya bersama –sifatnya komunistik, sedangkan Trowulan dengan kompleksitas masyarakatnya yang cukup tinggi tidak memungkinkan hal itu terjadi. Bangunan yang bersifat komunal sejauh ini yang ditemukan hanya situs pemandian Candi Tikus.

            Namun sepertinya kerajaan Majapahit tidak didesain untuk bertahan lama. Masa keemasan Majapahit ditandai pada era kepemimpinan Raja Hayam Wuruk dengan patihnya yang terkenal, Gajah Mada. Tapi tidak adanya regenerasi kepemimpinan menjadi malapetaka awal kehancuran kerajaan ini, yang diikuti juga dengan kehancuran Trowulan. Perang antar keluarga terjadi yang bertujuan untuk perebutan takhta. Invasi dari kerajaan lain pun mulai gencar. Namun ada faktor lain yang juga tidak bisa disangkal oleh penduduk kerajaan sebelum kehancuran: bencana alam.

            Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Rovicky Dwi Putrohari menyebutkan analisanya mengenai kehancuran Trowulan berdasarkan Pararaton[10]. Tahun 1334 M, terjadi sebuah bencana alam[11] yang dituliskan Pararaton sebagai Banyu Pindah. Secara bahasa, Banyu Pindah berarti air yang berpindah. Rovicky menjelaskan dalam tulisan di dalam blognya[12], bahwa Banyu Pindah berarti sebuah banjir yang besar. Banjir ini sebenarnya sudah terjadi secara tahunan. Tercatat melalui Prasasti Kelagyan di tahun 1037 M, delta Brantas[13] juga sempat meluap memenuhi pemukiman penduduk. Pembangunan kanal adalah tindakan preventif yang dapat dilakukan oleh pemerintah Majapahit agar peristiwa banjir tersebut dapat dikurangi. Adanya aktifitas vulkanik Gunung Kelud yang saat itu sangat aktif juga semakin mengubur kejayaan Trowulan. Dalam catatan Pararaton, tahun 1374 M tercatat adanya sebuah aktifitas yang dinamakan Pagunung Anyar, secara harafiah berarti gunung yang baru. Pagunung Anyar diyakini sebagai sebuah erupsi vulkanik Gunung Kelud, kemudian menimbulkan banjir lahar yang mengalir melalui aliran sungai dan mengenai pemukiman penduduk Trowulan. Turunnya Hayam Wuruk dan muncul perang saudara memperparah hal ini. Banjir serta penyakit bermunculan. Adanya perang mengakibatkan kanal-kanal rusak dan sulit untuk diperbaiki. Ibukota pun sempat pindah ke Daha[14] karena situasi Trowulan yang sudah tidak kondusif sebagai ibukota.[15] Puncaknya: perebutan kekuasaan Majapahit oleh kerajaan Demak. Tepat tahun 1478 M, Pararaton menuliskan “Sunya Nora Yuganing Wong”, yang berarti kosong tanpa awak manusia dan diyakini sebagai akhir dari kejayaan Majapahit.

            Prosesi kehancuran Trowulan ini, bisa dikaitkan dengan artikel Jotham Johnson berjudul The Slow Death of A City (1954). Johnson menceritakan bagaimana sebuah kota di Italia bernama Minturnae hancur secara perlahan, dan membutuhkan waktu berabad-abad. Kehancurannya, sama seperti Trowulan juga dipicu oleh perang, bencana alam, bahkan juga pencurian. Fakta mengenai bagaimana Trowulan sebenarnya pun masih samar hingga saat ini, karena para arkeolog belum sepenuhnya “membersihkan” Trowulan. Seiring dengan berkembangnya jaman, para warga sekitar yang pada umumnya berprofesi sebagai pengrajin berusaha mencuri beberapa sisa pembangunan kota tersebut. Salah seorang arkeolog dari Pusat Arkeolog Nasional, kepada majalah National Geographic Indonesia pernah mengatakan, “sebagian besar susunan batu batanya sudah amburadul akibat pencarian emas besar-besaran pada 1960-1970-an”. Proses vandalisme itu bahkan masih terjadi, sampai sekarang. Dan yang tersisa hanyalah sebuah situs yang menjadi lahan penelitian arkeolog, dengan sekopnya, sama seperti yang Johnson ungkapkan pada Minturnae.

***

 


[2] http://majapahit1478.blogspot.com/p/negarakertagama.html diakses pada tanggal 25 Februari 2013 pukul 0.50 WIB.

[3] Sjoberg, Gideon. (1965, September). The Origin and Evolution of Cities. Scientific American vol 213 no 3, 55

[4] http://my.opera.com/waoneoi/blog/2012/09/16/metropolitan-yang-hilang diakses pada tanggal 25 Februari 2013 pukul 1.47 WIB. Artikel ini berisi tentang tulisan majalah National Geographic Indonesia edisi September 2012 berjudul Metropolitan yang Hilang.

[5] http://www.bimbie.com/trowulan.htm diakses pada tanggal 25 Februari 2013 pukul 1.34 WIB.

[6] http://majapahit1478.blogspot.com/2011/06/situasi-kota-majapahit-4.html diakses pada tanggal 25 Februari pukul 3.26 WIB

[7] Ibid

[8] Mandala dalam bahasa sanskerta berarti lingkaran. Istilah ini digunakan oleh penganut agama Hindu dan Budha.

[9] http://my.opera.com/waoneoi/blog/2012/09/16/metropolitan-yang-hilang diakses pada tanggal 25 Februari 2013 pukul 4.22 WIB

[10] Pararaton berisikan tentang pencatatan kejadian-kejadian penting dalam masa kerajaan Singasari dan Majapahit, namun penulisnya masih belum diketahui.

[11] Namun Pararaton tidak menjelaskan secara detil kejadian bencana dan imbasnya terhadap penduduk setempat.

[13] Delta Brantas adalah tempat bermuaranya sungai Ginting dan Sungai Brangkal.

[14] Daha adalah sebuah daerah yang saat ini bernama Kediri, Jawa Timur.

[15] http://kabarpesisir.blogspot.com/2011/07/daha-beteng-terakhir-majapahit-1.html diakses pada tanggal 25 Februari 2013 pukul 6.49 WIB.

Teater dalam Teater: Menonton Ariah.

Minggu (30/6) secara mendadak saya memutuskan untuk mengajak teman-teman saya menonton Ariah. Tontonan tersebut adalah teater. Dengan desain sedemikian rupa di lapangan Monas, menjadi sebuah panggung megah. Salah satu yang menarik minat para pengunjung adalah, biaya masuk ke teater ini amat sangat terjangkau. Untuk kelas festival rakyat dijual seharga Rp 2.000 dan bahkan di hari terakhir pertunjukan ini digratiskan.

Saya penasaran dengan beberapa celotehan di social media yang menceritakan betapa meriahya Ariah ini. Saya pikir, kapan lagi bisa mendapatkan hiburan berkelas dengan harga murah? Maka saya segera menghubungi teman-teman saya untuk menonton. Tapi kami terlambat datang.

Acara seharusnya dimulai pukul 19.00 sesuai jadwal yang terpasang. Namun kami sendiri baru berkumpul sekitar 19.15. Kami berempat. Ada saya, Ikyu dan pacarnya, Tika serta Hansen. Usai berkumpul, kami memutuskan untuk mencari tahu bagaimana cara masuknya. Ternyata yang tiket Rp 2.000 hanya dapat dibeli di kelurahan. Sementara banyak calo yang berkeliaran menjual tiket semau pemerintah menaikkan harga BBM. Mereka jual dengan varian Rp 15.000 hingga Rp 25.000. Luar biasa.

Sementara itu saya juga sempat dengar isu mengenai pintu masuk gratis. Tapi ternyata sudah dibuka ketika pukul 18.00 dan saat kami sampai, sudah tertutup. Setelah mengelilingi Monas satu putaran dari pintu masuk Bank Indonesia-pintu Gambir-pintu masuk BI lagi-tengah Monas, diskusi dengan seksama, dan berpikir keras, akhirnya kami memutuskan untuk tetap menonton melalui layar lebar yang disediakan di luar area teater.

Saat berjalan kembali ke tengah Monas, saya dan Hansen mengincar salah satu jajanan khas yang sering ada di Monas: Kerak Telor. Tapi, rekan saya yang satu itu entah sudah tidak bisa menahan lapar lagi atau memang belum pernah makan atau memang aneh, dia berpesan ke penjualnya agar kerak telor pesanannya tidak pedas. Ya, saya tau sih dia tidak bisa makan pedas. Tapi ya…

image

Kondisi Layar Tancep. Apa Adanya

Nah, keseruan yang sesungguhnya muncul ketika kami berempat mencari posisi yang nyaman untuk menonton layar tancap tersebut. Sempat duduk di belakang, tapi yang depan tetap berdiri tanpa peduli. Akhirnya kami pindah ke depan. Saya duduk di samping ibu-ibu paruh baya. Dia sempat sedikit komentar ketika teman saya, Ikyu mengeluh tetap sulit menonton dari sudut ini. “Ya di sini memang susah mas nontonnya. Tapi nikmatin saja,”

Karena layar tancap, jadi kondisi yang menonton pun apa adanya. Ada yang menyewa tikar untuk duduk. Ada yang niat membawa semacam kasur tipis. Ada yang duduk di dekat tempat menonton layar, tapi asik bercengkrama dengan pasangan di sampingnya (kalau ada). Kalau tidak ada? Tidur. Gaya menontonnya pun beragam. Ada yang fokusnya setengah menonton (atau mungkin seperempat), sisanya melihat handphone. Ada yang sambil kerokan. Ada yang tidur di paha pasangannya. Tapi ya mungkin seperti ini kira-kira gambaran masyarakat Jakarta yang beragam.

Sebetulnya kalau mau serius menonton juga sulit. Kondisinya amat sangat ramai. Suara melalui speaker yang dipasang panitia sebenarnya hanya untuk melayani penonton yang di dalam saja. Jadi yang di bagian luar cuma dapat sisanya. Sisa-sisa suara itu masih harus diperebutkan dengan banyaknya pedagang yang berlalu-lalang, suara anak kecil menangis, atau suara orang-orang yang sedang bercendi gkrama. Maka saya tidak tahu, kenapa ibu-ibu di sebelah saya tadi sampai serius sekali menontonnya. Bahkan sesekali tertawa. Padahal tidak kedengaran apa-apa.

Tempat saya menonton juga sempat rusuh. Ada seorang bapak-bapak sedang menyewakan tikar miliknya. Dengan lantang ia berteriak “Lima ribu satu! Empat, dua puluh!”. Tidak lama, gerombolan ibu-ibu di belakang saya celoteh “Lah, itu mah sama aja pak!”. Ibu-ibu tersebut tampaknya ingin menyewa tikar dari si Bapak. Tikarnya sudah diambil, dan diduduki. Namun ketika hendak membayar, Ibu-Ibu ini menawar. “Tiga ribu aja lah pak!”.

Entah karena si Bapak ini belum makan malam, atau mungkin bingung untuk membayar tagihan yang jatuh esok hari, dengan paksa ia merebut tikar tersebut. Lalu ia berteriak. “UDAH SINI KALAU ENGGAK MAU YAUDAH. UDAH DIBILANG LIMA RIBU JUGA. ORANG UDAH TERIAK-TERIAK SAMPE SUARA SEREK GINI,”

Sejenak saya merasa seperti ada di teater dalam teater.

Suasana sempat tenang sampai beberapa menit kemudian ada penjual es krim lewat. Kalau cuma lewat sih mungkin masih mending ya. Tapi ini: lewat di depan kita pakai sepeda dengan lampu menyala di boks belakang serta musik dengan volume paling kencang. Ternyata si pedagang bukan cuma lewat. Tiba-tiba dia parkir. Di depan. Dan dia duduk manis ikut nonton.

Saya sih bukan mau melarang dia menonton dan fokus jualan saja. Tapi masalahnya sinar lampunya silau karena parkir benar-benar di depan saya. Belum lagi theme song es krimnya yang kencang. Akhirnya mas-mas es krim tersebut pergi. Diusir sama bapak-bapak di depan saya.

Cerita teater dalam teater ini ditutup ketika ada sepasang ondel-ondel lewat. Lengkap dengan ember, mereka meminta para pengunjung yang saat itu sedang duduk-duduk. Anaknya bapak-bapak yang ngusir mas-mas tukang es krim tadi langsung menjerit takut ketika ia bangun dari rebahan. Ya, siapa yang tidak kaget, kalau anda noleh, tau-tau ada ondel-ondel nyengir bawa ember cat di depan muka.

Mungkin akan menjadi sebuah cerita yang panjang jika kami menonton teater Ariah sampai habis. Tapi karena sudah tidak ada yang menarik, kami memutuskan pulang. Entah apa yang membuat orang-orang tadi masih betah berjam-jam menonton dari luar.

Sisi dalam teater Ariah seperti menggambarkan sisi glamor Jakarta. Kemewahan, keistimewaan. Tapi itu sisi kulitnya. Sisi intinya justru berada di luar, yang menjadi realita keseharian kota tersebut.

image

Layar Tancep dan Monas. Jakarta Banget.

Marriage

Beberapa bulan terakhir, orang-orang terdekat saya ikut sibuk mengomentari orang-orang yang menikah. Bagi saya, bukan sesuatu yang spesial. Tapi bagi orang-orang tersebut, ada sesuatu yang janggal: kedua mempelai menganut agama yang berbeda. Ini kira-kira komentar orang-orang tersebut yang saya ingat:

”Itu kan ngawur”
“Bukannya jadi ribet ya urusannya? Administrasinya?”
“Haram itu!”
dan sebagainya.

Sampai akhirnya, salah satu teman dekat saya sendiri melanggengkan ritual yang dianggap meresahkan oleh orang-orang yang berkomentar tadi. Menikah beda agama. Mempelai laki-laki namanya Fachmi, agamanya Islam. Sedangkan yang perempuan bernama Chikita, agamanya Katolik. Ketika acara keagamaan untuk melegalkan pernikahan hendak digelar, komentar-komentar yang sebelumnya sudah saya tuliskan di atas kembali muncul.

Sampai pada akhirnya, hari kebesaran bagi keduanya tiba. Karena satu dan lain hal, acara resepsi pernikahan diundur. Jadi yang berlangsung hanya acara keagamaan saja. Prosesnya menurut saya berlangsung unik. Sehari dilakukan dengan pemberkatan secara Katolik, besoknya dilakukan dengan cara Islam melalui akad nikah. Jadi intinya agar keduanya bisa legal secara agama masing-masing.

Pada saat pemberkatan, saya ditunjuk sebagai pendamping pengantin pria. Entah bagaimana komentar orang-orang yang kontra tadi kalau tahu saya sendiri justru terlibat di salah satu hal yang dianggap buruk oleh mereka. Upacara berlangsung lancar. Kalau kata salah satu dosen saya, Gunawan Tjahjono, ini sudah bukan toleransi lagi, karena toleransi itu hanya sebatas membiarkan. Ini sudah memasuki ke fase di atas toleransi, yang sangat dibutuhkan di Indonesia. Ini lah fase menghargai antar sesama yang sesungguhnya. Pemberkatan berlangsung di salah satu gereja megah di Bintaro. Yang menarik, banyak ibu-ibu yang berjilbab ikut masuk dan mengikuti prosesi pemberkatan dari awal hingga akhir.

Selama pidato keagamaan pun, pemimpin upacara ini, sang Pastor, sama sekali tidak pernah menyentil kalimat “Ini tindakan ngawur lho,”.

Esoknya, akad nikah juga berlangsung khitmad. Dilakukan secara Islam di sebuah gedung hotel di Kemang, proses yang kedua ini juga berjalan dengan baik. Proses menghargai juga dilakukan dari pihak Chikita dengan mengikuti prosesi dari awal hingga akhir. Selama ceramah keagamaan usai akad berlangsung, sang Ustadz juga tidak menyebutkan kalimat “Ini haram lho,”.

Akhirnya kedua upacara keagamaan tersebut usai. Sah! Keduanya menjadi pasangan suami istri yang resmi secara keyakinannya masing-masing. Luar biasa. Karena menurut saya inilah definisi pernikahan yang sesungguhnya. Menurut saya, pernikahan adalah momen ketika kedua belah pihak yang berbeda menjadi satu. Dua hal yang berbeda membaur. Lalu kenapa masih ada yang memperdebatkan, jika pernikahan adalah menyatukan kedua perbedaan itu sendiri? Kenapa harus dipaksakan dengan hal yang sama, ciri yang sama, identitas yang sama, keyakinan yang sama, suku yang sama, atau status sosial ekonomi yang sama?

Kenapa tidak sekalian menghalalkan pernikahan sejenis saja?

“Keep Calm and Marry On”

image

Menolak Cinta Ghaida JKT48

Banyak para fans JKT48 bilang, mengikuti salah satu event adalah kesempatan terbesar untuk ngobrol langsung dengan member. Sebetulnya banyak sekali event yang digelar, seperti olahraga bareng, atau jalan-jalan ke museum bareng, dan sebagainya. Tapi untuk bisa ikut itu, kita harus terdaftar dulu sebagai Official Fans Club. Berhubung saya yang bukan apa-apa ini tidak punya banyak uang saku untuk itu, maka saya memutuskan untuk tidak tergabung. Sampai akhirnya ada kesempatan yang bernama event handshake.

Dalam event ini, cukup dengan membeli CD JKT48 sebesar Rp 40.000 maka kita punya kesempatan untuk melakukan handshake, bersama satu member yang dipilih. Kesempatan emas ini digunakan sebesar-besarnya oleh para fans. Jadi tak heran, kalau satu orang bisa membeli 4-5 CD. Ada yang 4/5 CD memilih member yang bervariasi, agar ngobrol dan pengalamannya bervariasi juga, Tapi ada juga yang 4/5 CD-nya digunakan untuk handshake member yang sama. Jadi selesai ngobrol sekali, ketika waktunya sudah habis, mereka antri lagi untuk ngobrol dengan member yang sama.

Karena member favorit saya yang malu-malu tetapi fashionable itu sudah sold out tiketnya, akhirnya saya memutuskan untuk memilih handshake bersama Ghaida. Kenapa memilih dia? Entahlah, tiba-tiba terbersit aja dipikiran.

Akhirnya hari itupun tiba. Karena sibuk dengan tugas kuliah, saya baru sempat mampir lagi ke Fx sejak April. Malam sebelumnya sudah saya pikirkan matang-matang untuk ngobrol dengan topik “alasan kenapa mau berkarir di 48 family”. Pertanyaan ini masih belum terjawab sampai saat ini, bahkan ketika ada kesempatan tanya jawab di twitter. Sedih sih. Jadi mungkin event ini bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan saya.

Ketika mengantri, saya sempat ngobrol dengan orang di belakang saya. Saya belum pernah ikut event ini, dan sebetulnya masih belum tahu berapa lama diberi jatah untuk ngobrol. Ternyata cuma 10 detik. Saya speechless. Tidak heran kalau fans ternyata beli tiket sampai 4 atau 5.

Saya lakukan simulasi dengan pertanyaan yang sudah disiapkan. Ternyata untuk bertanya saja sudah habis 10 detik. Terpaksa cari topik cadangan. Dan dalam waktu singkat, saya langsung temukan topik itu. Akhirnya para fans yang ingin ikut handshake masuk, dan mengantri. Saya langsung mencari nama Ghaida Farisya. Sempat kaget waktu mengantri karena antriannya sampai panjang dengan 3 barisan. Waktu membernya datang, saya kaget, Yang keluar kok Shania? Ternyata saya salah antri.

Antrian Ghaida saat itu sepi. Cuma ada kurang lebih 5 orang. Saya dapat giliran ketiga. Menarik melihat dua orang pertama saya ketika handshake. Yang pertama, entah ngobrol apa sampai dia tidak sekalipun menatap muka Ghaida selama 10 detik tersebut. Waktu giliran yang kedua, fans dan Ghaida terlihat sangat akrab. Sembari menunggu, saya sempat overheard Shania teriak “Hayo, mau ngomong apa!”. Fans yang ketika itu handshake dengan Shania langsung keder.

Akhirnya saya yang dapat giliran. Kira-kira seperti ini obrolannya:

Saya (S) : deg deg. Deg deg.

Ghaida (G): deg deg. Deg deg.

S: Kamu sayang sama aku?

G:  Err.. Sayang sama kamu.. Sayang sama semuanya..

S: Ohh, tapi maaf yaa, aku harus nolak kamu.

G: Yahh. Kenapa?

S: Iyah, soalnya aku udah punya pacar. Maaf yaah.

G: ^diem *jabatan tangan mengendur *sempet diem agak lama sampai dia bilang: iya dehh yang punya pacar, aku kan jomblo. Sombong

S: *ketawa bahagia

G: Pacarnya sekarang di mana?

S: di Halmahera

G: Wah jauh ya. Salam ya kak buat pacarnya

S: Iya, terima kasih.

G: Dukung aku terus ya kak. *ngasih stiker*

Selesai event, saya langsung bergegas pulang. Tapi karena waktu itu di lantai bawah sedang ada acara juga, saya sempat nonton sebentar di lantai 4. Waktu sedang asyik nonton, saya menemukan ini, tepat di depan pintu masuk teater.

Ukiran Rena Ternyata Tidak Hanya Tertambat di Hati Fans

Image

Tak Ketinggalan Nama Beby dan Cigul. Maaf Blur, Maklum Grogi Habis Handshake

Dua foto di atas memang tidak berhubungan dengan tema post ini, tapi sekalian saja saya ceritakan. Agak disayangkan saja jika vandalisme juga terjadi sampai ke dalam mal oleh para fans. Coba kalau misalnya teater JKT48 tempatnya outdoor, mungkin dinding-dindingnya akan penuh tulisan titik titik (nama fans) love titik titik (nama member). Kepuasaan setelah handshake jadi agak berkurang setelah melihat hal tadi.

Tapi saya cukup senang sekaligus memberi catatan bagi diri saya sendiri jika ada event handshake lagi: ECCST (Enggak Cukup Cuma Satu Tiket).

Kenapa Mereka Begitu Mencintai JKT48

Image

ini bukan antri beras, tapi antri tiket masuk teater JKT48 (pic: @rinaatriana)

Bagaimana perasaan anda ketika anda mencintai seseorang, namun kesempatan untuk bertemu seseorang tersebut sangat terbatas? Selain itu, anda sadar jika orang tersebut tidak hanya dicintai oleh anda, namun ratusan, bahkan mungkin ribuan orang juga mencintai orang tersebut? Apa yang akan anda lakukan untuk menarik perhatiannya?

Setidaknya untuk menjawab pertanyaan tadi, saya akan bercerita tentang suatu hubungan. Proudly present: the fans of JKT48.

***

Saya terlebih dahulu akan melanjutkan cerita tentang pengalaman menonton JKT48 seperti yang sudah saya tulis di post sebelumnya. Ketika itu saya menonton hari Senin (1/4), saya memutuskan untuk menonton lagi hari Jumat (5/4). Hanya 4 hari saja jaraknya. Tapi setidaknya saya jadi tahu beberapa hal.

Pertama, saya melihat orang yang sama. Ya, gerombolan “ibu-ibu pengajian” yang saya lihat sebelumnya, saya melihat mereka kembali. Beberapa fans pria juga saya kenali wajahnya, masih dengan atribut yang sama. Saya berasumsi, kebiasaan menonton di teater ini sudah menjadi rutinitas.

Masalahnya, saya adalah tipe orang yang sangat mudah bosan, apalagi jika sudah terlibat dengan yang namanya rutinitas. Jujur, bagi saya pengalaman menonton yang kedua ini membosankan. Sangat. Beberapa kali saya menguap, mungkin karena lelah berjam-jam mengantri juga karena saya tidak menemukan hal yang baru selama menonton. Lagu yang dibawakan pun sama.

Selain itu, teriakan para fans juga terdengar menarik ketika pengalaman pertama menonton. Saat menonton yang kedua ini, saya sebetulnya lebih ingin menikmati lagunya dengan bernyanyi bersama serta mendalami lirik-liriknya. Tapi tidak bisa, karena penonton di sini juga hanya pada bait tertentu saja mereka bernyanyi bersama. Mereka lebih sering meneriakkan nama member favorit mereka, atau berteriak siapa penyanyi pada bait tersebut.

Anda bayangkan dalam konser Titi DJ dan Ruth Sahanaya, mereka menyanyikan lagu berjudul Bahasa Kalbu. Ketika sampai ke lirik “Indah sanubarimu kasih, percayalah..” para penonton diam dan tidak ikut bernyanyi bersama. Alih-alih bernyanyi, usai bait “percayalah..” penonton justru berteriak “Yang paling lucu, Titi DJ!”.

Momen ketika penyanyi di panggung biasanya berteriak “Ayo nyanyi semua!” sepertinya tidak berlaku di sini. Dan teriakan yang sama, selama 2 jam, itu membosankan buat saya.

Cuma pertanyaannya adalah: Kenapa teater masih ramai dengan rutinitas ini? Mereka tidak bosankah?

Kenapa penonton yang saya lihat tidak jauh berbeda, tetap excited?

Dan pertanyaan besarnya adalah: Kenapa mereka begitu mencintai JKT48?

Beberapa orang yang saya tanya, umumnya menjawab: mereka lain dari yang lain. Semangat dan kerja keras mereka dari awal terbentuk sampai sekarang menjadi terkenal itu layak diapresiasi.

Namun saya yakin, jawaban yang bisa saya simpulkan sejauh ini sudah saya sebutkan melalui pertanyaan di awal paragraf tadi: terbatasnya interaksi. Semakin anda dibatasi, semakin anda bergejolak untuk keluar dari batas itu bukan? Dan ketika kesempatan interaksi itu ada –salah satunya melewati teater– mereka tidak akan melewatkan kesempatan itu begitu saja. Sesederhana itu.

Rasa cinta ini berkembang menjadi fanatisme. Sadar “saingan” mereka untuk memperebutkan hati orang yang mereka cintai banyak, maka hal-hal gila yang akan mereka lakukan. Segila mungkin. Sehingga bisa menarik perhatian. Hal-hal gila yang saya pernah lihat adalah:

1. Seorang fans memberikan hadiah telepon seluler kepada salah satu member favoritnya.

Image

Hadiah yang diberikan fans kepada Beby JKT48 (pic: @BebyJKT48)

Anda bayangkan saja secara akal sehat. Saya yakin para member pasti mampu membeli sendiri gadget ini. Biasanya juga mungkin seorang artis yang memberikan hadiah kepada fansnya, melalui kuis misalnya. Tapi di sini ceritanya lain.

2. Dalam sebuah event, seorang fans membawa anaknya.

Image

Event futsal JKT48 bersama fans (pic: @NabilahJKT48)

Jika anda seorang istri, atau seorang pacar, apa yang anda pikirkan jika pasangan anda menyukai wanita lain dengan kapasitas sama, atau lebih kepada anda? Cemburu? Mungkin saja.

Tapi bagaimana jika pasangan anda tadi sampai membawa anak kalian berdua untuk ikut sebuah event?

Tidak hanya para pria, wanita-wanita saat ini juga ternyata tidak mau kalah. Sabtu (13/4) yang lalu, JKT48 mengadakan event khusus teater bagi wanita dan anak-anak. Saya sempat ragu, teater akan penuh. Apalagi selama ini berkembang pemahaman jika fans-fans JKT48 didominasi oleh para pria saja.

Namun jika anda melihat lebih cermat foto yang saya tampilkan di bagian awal post ini, foto tersebut adalah antrian para wanita yang hendak menonton teater. Menurut cerita dari teman saya, suasana di dalam pun seramai ketika teater-teater biasanya. Ramai dengan chant, teriakan mendukung member favorit mereka.

Jika anda salah satu fans JKT48 dan kebetulan membaca tulisan ini, mengapa anda begitu mencintai mereka?

Kesambet Setan Gadget

Ketika sedang sibuk berbincang dengan salah satu pakar agama, saya diberi tahu bocoran mengenai sebuah pertemuan yang diselenggarakan oleh para setan. Pertemuan ini yang kemudian mengubah paradigma para setan dan hubungannya dengan manusia. Seperti ini ceritanya..

***

Kira-kira pada tahun 2000, para setan gelisah. Penghasilan mereka menurun. Pengikut-pengikut mereka pun mulai berkurang. Manusia, sebagai harapan utama mereka untuk hidup juga semakin tidak bisa diharapkan. Ketika konferensi persetanan dunia yang sudah berusia ratusan ribu digelar pada saat itu, para setan kemudian mencurahkan hatinya.

Konferensi ini diwakili oleh setan-setan dari berbagai penjuru dunia. Saya tidak terlalu ingat apa-apa saja nama setannya. Saya hanya ingat dari Indonesia diwakili Kuntilanak, Tuyul dan Pocong, Amerika diwakili Drakula sementara Cina diwakili Vampir.

Kuntilanak yang mulai kehabisan stok belatung dan sate karena harga daging tinggi mulai buka suara.

“Bapak Drakula sebagai setan adidaya harusnya kasih solusi dong ke kita-kita. Manusia sudah mulai susah digoda akhir-akhir ini” keluhnya.

“Iya pak. Saya capek pak. Sekarang kalo ngerasukin manusia kan capek. Udah gitu kalo manusianya disembuhin kita dimasukin botol pak,” tambah Tuyul.

Vampir yang sedari tadi manggut-manggut kemudian memberi usul. Setan-setan dari negara Tiongkok ini memang kerap memberikan ide-ide brilian mengenai masalah persetanan.

“Begini saja, Ini kan sudah jaman melek teknologi. Saya prediksi kira-kira 5-10 tahun lagi, negara-negara dunia sudah mulai dikuasai teknologi. Sudah tidak ada batas-batas lagi. Saatnya kita juga bersatu, menghilangkan batas-batas kita,” terang Vampir. Pocong yang masih bingung penjelasan Vampir cuma mengangguk-angguk saja sambil mengemil kemenyan.

“Maksudnya bagaimana itu?” tanya Drakula.

“Maksudnya begini. Karena mereka sudah melek teknologi, kita juga jangan kalah. Kita tidak perlu rasuki manusia. Kita goda mereka saja lewat teknologi. Lewat gadget! Negara anda kan jago bikinnya. Nanti negara kita bantu jualnya,” jelas Vampir

“Wah, menarik juga. Nanti negara kita akan bantu belinya!,” seru Pocong.

Para hadirin di konferensi pun juga menyerukan suara tanda persetujuan mereka. Setan-setan ini satu suara: menggoda manusia lewat gadget. Prosesnya simpel, setan-setan ini tidak lagi merasuki manusia, tapi merasuki gadget mereka. Gadget-gadget ini seakan-akan mengajak para manusia untuk main bersama dengannya. Nanti, manusia kemudian sibuk dengan gadgetnya masing-masing.

Jika manusia sibuk dengan gadgetnya masing-masing, harapannya sederhana: manusia menjadi lebih peduli terhadap gadgetnya. Mereka cukup berinteraksi dari gadget, dihibur dengan gadget, membeli barang dengan gadget. Nanti jika berhasil, maka manusia makin tidak peduli dengan hal-hal disekitarnya. Makin malas bertemu, makin malas bergerak.

“Ya sekitar 20-30 tahun kemudian, manusia akan semakin individualis. Tidak sehat. Tidak peduli lingkungannya. Manusia akan punah!” seru Drakula yang disambut tawa licik para hadirin.

***

Tahun 2013, konferensi antar setan dilakukan kembali. Kali ini para setan terlihat makmur. Pocong yang tadinya dibalut kain lusuh, kali ini tampak trendy dibalut dengan kain jeans. Tuyul yang tadinya botak, kali ini gondrong dan memelihara jambang. Kuntilanak pun rambutnya sekarang wavy dan dicat pirang. Vampir juga yang tadinya identik dengan kedua tangannya lurus sejajar ke depan, kali ini meletakkan tangannya di saku. Satu tangannya lagi sibuk membalas mention di twitter. Drakula? Jari-jarinya dipenuhi cincin-cincin emas.

“Masa keemasan berhasil kita dapatkan kembali!” seru Drakula. Namun tidak dibalas dengan sambutan yang riuh dari hadirin karena mereka sibuk dengan gadgetnya masing-masing.

“Oya, jangan lupa follow twitter saya @Dracula”. Kali ini para hadirin menjawab kompak: “Sudaaah!”

Konferensi yang tadinya dialokasikan 2 jam dipercepat karena antusiasme peserta yang minim. Para setan masih sibuk dengan gadgetnya. Beberapa sibuk ngobrol melalui group chat, mengeluh konferensi yang terlalu lama. Beberapa juga sibuk berfoto, dan langsung memberikan keterangan “Sedang Konferensi with Pocong dan Kunti”.

Para setan sudah berhasil merasuki manusia lewat gadget

Para setan sudah berhasil merasuki manusia lewat gadget

 

***

Cerita dari teman saya tadi menjadi masuk akal ketika melihat manusia saat ini yang seakan kerasukan apabila sedang bermain dengan gadgetnya. Setan-setan sudah berhasil dengan tujuan mereka. Manusia sekarang sudah Kesambet Setan Gadget. Sebelum cerita ini menjadi salah satu cerita horor di bioskop, setidaknya saya sudah menceritakannya terlebih dahulu kepada anda.

Dan sepertinya, handphone sedang memanggil saya sekarang…

Pengalaman Pertama Bersama Adik-Adik JKT 48 (Part 2)

***

Pada part sebelumnya, saya bercerita mengenai proses awal menonton JKT 48 dari pemesanan tiket, bertemu Ayana, dan bertemu dengan berbagai jenis wota. Untuk part ini, saya akan bercerita tentang proses bingo, jalannya teater, sampai selesai teater.

Sekitar pukul 19.15, proses bingo untuk tiket hijau baru dimulai. Baru setelah itu tiket biru milik saya. Desak-desakan tentu saja, karena posisi menentukan prestasi untuk melihat para idol mereka. Proses bingo berlangsung, nomor bingo yang tertera di tiket dipanggil secara acak. 13! 1! Semua wota bersorak ketika nomornya dipanggil. Saat petugas berteriak “dua!”, antrean kami bersorak. Namun, tiba-tiba saja sang petugas menambahkan “belas!”. Bukan hari saya sepertinya.

Dan betul saja, nomor bingo saya dipanggil paling akhir. Berarti saya duduk di row belakang. Atau mungkin berdiri jika kursinya penuh. Apa boleh buat. Mungkin jadi poin tambahan jika saya duduk di belakang, karena bisa melihat seluruh kondisi teater.  Kursi yang tersedia di teater itu seperti kursi-kursi di warung makan. Kecil, dengan sandaran hanya sejengkal di atas pinggang. Sementara penonton berdiri di sediakan tempat khusus di belakang dengan pagar besi setengah badan.

Lightstick dinyalakan. Para wota sudah bersiap. Dan ya, saya baru duduk dan langsung dihajar dengan 4 lagu. Mereka membawakannya secara live, tidak lypsync. Goyangannya pun tidak enerjik dan asal-asalan. Padahal dalam satu minggu, mereka bisa show 3-4 kali. Ini masih di luar acara tv atau event-event lain. Belum juga dihitung kegiatan sehari-hari mereka, seperti sekolah. Namun mereka tidak tampak lelah. Konon katanya latihan fisik mereka ala militer, jadi memang beberapa member terlihat punya tangan yang kekar.

Selama mereka bernyanyi, para wota juga memiliki irama yang sama dalam mengayunkan lightstick mereka. Lengkap juga dengan chant, layaknya sedang menonton tim bola kesayangan. Teriakan yang saya dengar jelas hanya “Oi! Oi! Oi!” serta “Kawaii!” dan diakhiri dengan teriakan nama member yang saat itu sedang bernyanyi.

Usai membawakan 4 lagu, para member berkumpul di tengah, saling memperkenalkan diri kepada para penonton dengan teks hafalan yang mungkin akan terus sama dibawakan di tiap show. Kesempatan ini digunakan oleh para wota untuk meneriaki nama member favorit mereka, dan berharap member yang di panggung mendengar dan membalas dengan lambaian tangan mereka.

Sesi ini dinamakan MC, yang menjadi ajang interaksi, tapi lebih searah dari member kepada penonton. Biasanya mereka bercerita dengan topik tertentu yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Topik malam itu adalah: curhat. Saya akan ceritakan curhatan dari member yang menurut saya menarik saja.

Pertama, dari Jeje yang bercerita sewaktu SMA pernah kesal dengan seseorang, lalu ia mendorong orang tersebut sampai koma. Kemudian ada Melody, yang bercerita akan segera meninggalkan JKT 48 karena mau S2 di luar negeri. Kinal, -kapten dari JKT 48-  sambil menangis, ia mengungkapkan keinginannya untuk keluar karena ingin mendaftar sebagai Polwan.

Well, saya kaget juga dengan cerita-cerita ini. Salah satu membernya kriminal? Sementara member favorit dan leader mereka mau keluar? Mau jadi apa grup ini? Cerita semakin parah ketika Rica bercerita jika dia adalah lesbian, dan punya hubungan khusus dengan Sendy, salah satu member juga. Wow. Pengalaman pertama sudah disuguhkan dengan kenyataan seperti ini. Saya nyaris saja walkout, sampai sadar kalau ini tanggal 1 April. Ya, April Mop!

Ternyata benar saja, di akhir mereka mengaku jika cerita mereka tadi bohongan. Ya, who knows tapi mereka sudah berhasil membuat penonton terhibur. Ada kesan psikologis ketika teater ini hubungan antara fans dengan member terasa sangat intim. Terlebih karena di luar, hubungan antara fans dengan member sangat dibatasi, maka kesan itu akan sangat terasa kuat.

Total dalam teater ini, tim J dengan backdancer dari tim Trainee membawakan kurang lebih sekitar 17 lagu. Saya tidak hafal betul karena transisi antar lagu begitu cepat. Hal yang menarik adalah sebelum lagu terakhir, ada sebuah sesi di mana para fans berteriak “Ankoru! Ankoru!” (dalam bahasa Jepang, Ankoru berarti encore, atau ulangi) bergantian dari sisi sayap kiri ke sayap kanan. Hampir 2 menit non stop mereka berteriak. Dan setelah dihibur 2 jam, pertunjukan selesai.

Ketika teater usai, ada sesi di mana para penonton bisa tos langsung dengan para member. Jadi keluarnya pun mengantri. Kebanyakan para wota memilih keluar belakangan, karena dengan seperti itu di belakang mereka tidak terlalu banyak orang dan mereka bisa lebih lama ngobrol dengan member favorit mereka. Ini tentu momen yang sangat mahal karena pembatasan interaksi kepada member tadi.

Sesi Hi Touch

Sesi Hi Touch

Meskipun ini yang pertama dan dapat urutan terakhir, ini pengalaman yang sangat berkesan. Jadi kalau saya ditanya apakah ingin nonton lagi, why not?

NB: Foto-foto di cerita ini saya dapatkan di internet, karena mengambil gambar saat jalannya teater itu dilarang.

Pengalaman Pertama Bersama Adik-Adik JKT 48 (Part 1)

Ini adalah pengalaman pertama saya menonton teater JKT 48. Ada yang bilang jika para fans JKT 48 itu bagai kumpulan orang pedofilia, atau om-om senang yang mungkin belum beristri. Sebagian orang mungkin melihat jika JKT 48 itu bagai kumpulan ibu-ibu sedang senam jantung dari jauh. Tapi bagi saya, ini adalah sebuah fenomena yang menarik, yang akan terlihat jelas jika terlibat langsung.

Ketertarikan awal saya ke grup JKT 48 ketika melihat hashtag #OfficiallyMissingYouSonya di Twitter. Sonya adalah salah satu personel JKT 48, dan pada saat itu ia digosipkan akan grad –atau lulus, istilah JKT 48 jika ada personelnya yang keluar. Dari sana, saya semakin penasaran tentang kehidupan di balik grup ini. Mulai dari fans-nya yang fanatik, aturan di dalam grup, sampai ke kepribadian masing-masing personel.

Di saat yang sama, iklan salah satu produk operator telekomunikasi juga menjadikan JKT 48 sebagai brand ambassador-nya. Berulang kali iklan di tv menyetel lagu-lagu mereka. Karena sangat catchy, saya langsung coba download. Dan jadi ketagihan.

Kehadiran JKT 48 dalam iklan jadi salah satu momen yang paling saya tunggu. Apalagi kalau mereka jadi bintang tamu acara di TV. Tapi dari cerita-cerita yang saya kumpulkan di internet, mereka sepakat: belum seru kalau belum nonton di teater. Teater adalah sebuah panggung khusus milik JKT 48, letaknya di Fx Sudirman lantai 4. Jadi ada blok khusus. Luasnya mungkin kira-kira setengah-nya Department Store, tapi hanya satu lantai. Tapi ruangan untuk menontonnya mungkin hanya seluas 5 kali luas kelas di sekolah.

Akhirnya saya memutuskan pesan tiket untuk tanggal 1 April. Karena berdasarkan review-review yang saya baca, nonton saat weekdays itu tidak terlalu penuh. Namun saya harus memesan dulu via internet, sekitar 4 hari sebelum hari H. Ada kemungkinan untuk tidak mendapatkan tiket, karena setelah memesan, pesanan tersebut akan diundi. Setelah itu, pengumuman akan diberitahu melewati email. Dan ya, saya menang!

Pengumuman mengenai tiket itu saya dapatkan sehari sebelum hari H. Maka ketika saya dapat tiket, saya langsung cari semua review yang berhubungan dengan nonton di teater. Well¸saya tidak ingin jika sampai di sana saya kelimpungan. Maklum, mau menonton sendiri. Dan ternyata ada yang mempublikasikan via blog tentang tips nonton teater bagi pemula. Lumayan membantu.

Hari kebesaran akhirnya datang. Jadwal show tercatat pukul 19.00. Tapi saya harus menukar notifikasi email menjadi tiket dan membayarnya sejak pukul 16.30-18.00. Sementara yang sebelumnya tidak dapat tiket via email, mereka harus antri dan loket baru dibuka setelah pukul 18.00. Menurut cerita-cerita di review, mereka sudah memulai antrian bahkan 3 hingga 4 jam sebelum loket dibuka. Bakal sangat ramai pikir saya. Apalagi yang hari ini saya tonton adalah tim J, tim utama JKT 48 yang sering terlihat di TV.

Namun karena tiba-tiba saja angin mendung, saya yang tadinya ingin santai-santai saja berangkatnya jadi berangkat lebih awal. Benar saja, sebelum masuk Fx, hujan mulai turun rintik-rintik. Ketika masuk, saya agak lupa di mana lantai teater. Saya ingatnya di lantai 7. Akhirnya saya cuek saja naik eskalator. Namun sesampainya di lantai 5, saya curiga. Ini kenapa lantai 4 penuh sekali. Saya langsung cek email. Crap! Lantai 4. Akhirnya turun lagi satu lantai.

Cerita-cerita para fans (atau Wota, istilah Jepang yang berarti penggemar fanatik) sebelum teater bermacam-macam. Saya pernah membaca, salah satu fans yang menuju Fx naik bus Transjakarta sempat berada satu bus dengan salah satu personel  JKT 48. Dan di pengalaman saya menuju teater, saya juga bertemu dengan salah satu personel, yang saya amat sangat yakin, namanya adalah Ayana.

Saya bertemu Ayana karena insiden salah lantai tadi. Turun dari lantai 5 ke lantai 4, tiba-tiba dari arah foodcourt ada satu wanita, kecil, pakai kaos JKT 48 dengan make up tipis, namun mukanya sangat familiar. Ia kemudian menebar senyuman ke orang-orang yang melihat ke arahnya. Waktu saya yang melihat, ternyata bukan Cuma lempar senyum. Ayana juga memberikan kode dengan menggenggam tangannya, seolah menyimbolkan saya untuk semangat. Pertanyaannya, darimana dia tau kalau saya juga mau nonton ya?

Sampai di depan teater. Ternyata tidak terlalu ramai. Apalagi untuk ukuran tim J. Terlihat jelas dominasi para pelajar di sini. Atribut yang mereka gunakan akan terlihat bahwa mereka hendak menonton JKT 48, seperti kaos dengan logo grup tersebut, light stick, dan album foto. Ya, album foto! Jadi ketika anda berkeliling Fx, dan tiba-tiba melihat ada orang yang berkeliling bawa album foto, jangan anggap mereka tukang foto keliling, atau tukang afdruk. Album foto tersebut berisi foto member JKT 48 favorit mereka, atau mungkin semua dengan berbagai pose. Foto tersebut hendak dijual, atau saling tukar di antara para wota.

Fx, bagi para wota JKT 48 adalah tanah suci. Jadi mungkin mereka sudah paham betul mal ini, apalagi teater. Sebagai costumer anda tentu saja jarang berbincang dengan pemilik toko, atau mungkin satpam toko di mal. Namun di teater berbeda. Satpam kenal betul siapa saja yang sering datang. Wota dan satpam di teater terlihat intens berbincang satu sama lainnya, sebuah hal yang amat sangat jarang ditemui bukan?

Tiket akhirnya saya tukar, berwarna biru dan dengan nomor bingo 2. Warna yang didapat dari tiket yang dibeli adalah hijau dan biru, di mana warna hijau yang berhak masuk duluan. Sedangkan nomor bingo adalah nomor undian yang akan dikocok dan menentukan urutan masuk. Biasanya ada sekitar 10 orang dalam satu nomor bingo, sedangkan nomor bingo-nya mencapai 15.

Ketika waktu sudah semakin larut, berbagai keunikan para wota mulai terlihat. Yang pertama, wota wanita, yang pada malam itu, meskipun tidak banyak, namun wanita-wanita ini memakai jilbab-jilbab panjang. Semoga mereka tidak salah antri dan mengira ini acara tahlilan. Lalu, wota-wota pria yang tampak berusia 30-an. Menggunakan kemeja lengan panjang, celana bahan, pantovel. Seperti pulang kerja, dan anda tidak akan membayangkan jika ia ternyata ikut mengantri untuk menonton JKT 48.

Bersambung..

Asep dan Grup Sapi Betinanya

Suatu hari, saya diceritakan oleh teman saya sebuah dongeng di negara antah berantah. Dongeng yang menceritakan sebuah daerah dengan sapi-sapinya yang terkenal dapat bernyanyi dan berjoget. Sapi-sapi ini belakangan menjadi fenomena yang sering dibicarakan orang banyak, positif maupun negatif. Namun sebagian orang bilang ini bukan dongeng, ini kisah nyata…

Seorang kartunis bernama Asep duduk termenung bagaimana caranya agar ia dapat menghibur orang lebih banyak. Asep selama ini dikenal sebagai salah satu kartunis yang karyanya memuaskan masyarakat setempat. Ia hidup di sebuah negara yang di dominasi oleh para pembuat hiburan. Namun ia merasa belum cukup dengan kartun, sehingga suatu saat ia berkeliling di daerah terpencil menuju ke sebuah peternakan sapi. Selain karena suka susu, Asep juga hendak mencari ide baru tentang kartunnya ini.

Sampai di peternakan pun Asep masih buntu. Tak ada yang betul-betul menarik dari sapi-sapi milik peternak. Sapi-nya memang memilki kualitas unggul, badannya besar, bebas penyakit, bersih, produksi susunya pun melimpah. Sebenarnya bukan hal yang spesial karena sapi-sapi di daerah ini kebanyakan seperti itu, dan tentu saja sapi-sapi tersebut adalah sapi-sapi yang digemari oleh masyarakat karena produktif.

Sedang asyik melamun, Asep tiba-tiba dikagetkan karena sapi-sapi tersebut yang kira-kira berjumlah 5 ekor tiba-tiba saja mengeluarkan suara khas sapi, namun seirama. Pantat-pantat sapi itu bergerak-gerak dengan cantiknya. Asep tentu saja terkejut. “Wah, ini bisa jadi saingan grup-grup sapi yang lain!”. Ya, kebetulan saat itu di daerah tersebut sedang musim grup-grup sapi yang bisa bernyanyi dan berjoget. Biasanya kumpulan sapi jantan saja atau sapi betina saja, yang satu grup bisa mencapai paling banyak 5-7 ekor.

Tekad Asep pun sudah bulat. Ia ingin membentuk grup sapi baru, tapi sapi betina karena memang berdasarkan hasil survey, grup sapi betina-lah yang paling banyak digandrungi masyarakat  Asep pun meninggalkan daerahnya, membentuk sebuah daerah baru yang diberi nomor 48 yang berarti tanggal lahirnya, 4 Agustus. Dalam proses membentuk grup sapi, ia mengajak peternak-peternak di daerah asalnya untuk berinvestasi.

Proses seleksi kemudian dilakukan untuk memilih sapi terbaik. Sapi-sapi betina ini dikumpulkan, sampai kira-kira mencapai jumlah 30-an. Asep tidak ingin hanya sekedar membentuk grup sapi yang jumlahnya sedikit. Rugi, katanya. Bagaimanapun sapi adalah makhluk hidup, mereka bisa saja sakit. Kalau jumlah grup sapi hanya sejumlah 5 ekor, tiba-tiba 1 sakit, sementara 1 lagi ternyata sedang dalam proses pemerahan susu yang membuatnya lemas, hanya 3 ekor sapi saja yang bisa tampil. “Bisa sepi nanti yang menonton, mending saya buat grup dengan jumlah yang banyak sekalian. Sakit 5, masih ada 25” gumamnya.

Pertimbangan lainnya, dengan jumlah banyak sapi-sapi itu bisa disebar untuk melakukan show. Ia ingin sekali menggelar show tetap di daerah 48. Sekitar 10 ekor sekali show. Sementara 20 lainnya bisa ia sebar ke daerah lain.

Ketika seleksi, Asep memilih sapi yang tidak hanya bermodel sama. Ada yang bulunya lebat, ada yang bertanduk. Ada yang kurus, ada juga yang berlemak. Ada yang memiliki corak dan warna bulat-bulat, ada yang polos. Asep berasumsi kalau tiap-tiap orang pasti punya tipe idealnya masing-masing tentang sapi. Dan dengan tipe yang tidak serupa, sapi-sapi itu mampu merepresentasikan keinginan masyarakat luas.

Para peternak sapi yang menjadi investor di daerah ini dibebani sebuah syarat: kepemilikan sapi sepenuhnya menjadi milik Asep. Namun keuntungan dari grup akan diberikan secara merata untuk para peternak. Tentu saja para peternak senang, mereka tidak perlu repot-repot lagi mengurus sapi-sapi mereka dan mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit. Di daerah 48, Asep kemudian melatih sapi-sapi tersebut. Latihannya konon jauh lebih keras daripada sapi-sapi pekerja yang menarik gerobak atau membantu petani di sawah.

Perlahan tapi pasti, grup sapi garapan Asep berhasil melejit. Sebagai grup pendatang baru, mereka berhasil menyingkirkan grup sapi betina lain seperti Cowbelle, Cow Icons dan sebagainya. Dominasi grup-grup sapi jantan juga mulai goyah seperti Super Cow. Hanya saja sebagai grup, Asep menganut prinsip bahwa sapi itu milik komunal. Semua masyarakat berhak untuk menikmati grup sapi garapannya. Jika ingin berinteraksi ya harus dilakukan bersama. Jika ingin berfoto juga harus dilakukan bersama. Ini untuk menghilangkan unsur kecemburuan masyarakat yang mungkin tidak dapat jatah untuk foto bersama jika tidak dibatasi. Ada pula kemungkinan sapi tersebut hanya merespons kepada seseorang tertentu saja, karena mungkin tidak melihat orang lainnya.

Sapi pada umumnya di daerah tersebut juga hidup secara bebas. Sehingga besar sekali kemungkinan sapi-sapi binaan Asep bertemu dengan masyarakat umum. Namun lain dengan grup-grup sapi lainnya yang sudah terkenal, sapi milik Asep tidak boleh sembarangan di foto atau sekedar diajak bermain. Ada penjaga khusus yang tak terlihat yang siap menghalangi para penggemar. Sehingga meskipun bebas, sapi-sapi ini sangat dijaga sekali privasinya oleh Asep. Foto-foto tersebut hanya boleh dikeluarkan oleh pihak Asep saja, dan jika para fans ingin, mereka harus membelinya.

Kira-kira seperti inilah sapi-sapi binaan Asep

Kira-kira seperti inilah sapi-sapi binaan Asep

Para fans-fans sapi Asep ini juga fanatik. Mereka pasti hafal sapi idaman mereka kapan bangun, apa jenis rumput kesukaan para sapi tersebut. Para fans juga tak segan merogoh kocek mereka untuk memberikan hadiah kepada sapi pujaan mereka, seperti selimut hangat, alat pembuat tanduk mengkilat, krim perawatan bulu yang harganya tentu tidak murah. Para fans juga memiliki album khusus yang hanya berisi foto-foto eksklusif sapi-sapi tersebut dengan berbagai pose. Merchandise-merchandise lain seperti gelas, pena, kalender yang memilki gambar sapi-nya Asep adalah sebuah barang wajib para fans.

Fans-fans ini juga rela untuk antri panjang di sebuah show mingguan sapi-sapi Asep. Terletak di salah satu peternakan yang Asep buat, para fans mengantri setidaknya 2 hingga 3 jam sambil berdiri. Peternakan Asep adalah ajang tempat para fans untuk saling berinteraksi, untuk sekedar bercengkrama tentang gosip terbaru sapi-sapi Asep, saling tukar menukar foto, atau membeli merchandise. Ketika menonton show, atribut khas sapi Asep seperti kaos, adalah hal wajib yang digunakan.

Dan saya yang juga penasaran dengan kisah sapi Asep, ingin membuktikan dongeng tersebut dengan ikut mengantre tiket..

***