Teater dalam Teater: Menonton Ariah.

Minggu (30/6) secara mendadak saya memutuskan untuk mengajak teman-teman saya menonton Ariah. Tontonan tersebut adalah teater. Dengan desain sedemikian rupa di lapangan Monas, menjadi sebuah panggung megah. Salah satu yang menarik minat para pengunjung adalah, biaya masuk ke teater ini amat sangat terjangkau. Untuk kelas festival rakyat dijual seharga Rp 2.000 dan bahkan di hari terakhir pertunjukan ini digratiskan.

Saya penasaran dengan beberapa celotehan di social media yang menceritakan betapa meriahya Ariah ini. Saya pikir, kapan lagi bisa mendapatkan hiburan berkelas dengan harga murah? Maka saya segera menghubungi teman-teman saya untuk menonton. Tapi kami terlambat datang.

Acara seharusnya dimulai pukul 19.00 sesuai jadwal yang terpasang. Namun kami sendiri baru berkumpul sekitar 19.15. Kami berempat. Ada saya, Ikyu dan pacarnya, Tika serta Hansen. Usai berkumpul, kami memutuskan untuk mencari tahu bagaimana cara masuknya. Ternyata yang tiket Rp 2.000 hanya dapat dibeli di kelurahan. Sementara banyak calo yang berkeliaran menjual tiket semau pemerintah menaikkan harga BBM. Mereka jual dengan varian Rp 15.000 hingga Rp 25.000. Luar biasa.

Sementara itu saya juga sempat dengar isu mengenai pintu masuk gratis. Tapi ternyata sudah dibuka ketika pukul 18.00 dan saat kami sampai, sudah tertutup. Setelah mengelilingi Monas satu putaran dari pintu masuk Bank Indonesia-pintu Gambir-pintu masuk BI lagi-tengah Monas, diskusi dengan seksama, dan berpikir keras, akhirnya kami memutuskan untuk tetap menonton melalui layar lebar yang disediakan di luar area teater.

Saat berjalan kembali ke tengah Monas, saya dan Hansen mengincar salah satu jajanan khas yang sering ada di Monas: Kerak Telor. Tapi, rekan saya yang satu itu entah sudah tidak bisa menahan lapar lagi atau memang belum pernah makan atau memang aneh, dia berpesan ke penjualnya agar kerak telor pesanannya tidak pedas. Ya, saya tau sih dia tidak bisa makan pedas. Tapi ya…

image

Kondisi Layar Tancep. Apa Adanya

Nah, keseruan yang sesungguhnya muncul ketika kami berempat mencari posisi yang nyaman untuk menonton layar tancap tersebut. Sempat duduk di belakang, tapi yang depan tetap berdiri tanpa peduli. Akhirnya kami pindah ke depan. Saya duduk di samping ibu-ibu paruh baya. Dia sempat sedikit komentar ketika teman saya, Ikyu mengeluh tetap sulit menonton dari sudut ini. “Ya di sini memang susah mas nontonnya. Tapi nikmatin saja,”

Karena layar tancap, jadi kondisi yang menonton pun apa adanya. Ada yang menyewa tikar untuk duduk. Ada yang niat membawa semacam kasur tipis. Ada yang duduk di dekat tempat menonton layar, tapi asik bercengkrama dengan pasangan di sampingnya (kalau ada). Kalau tidak ada? Tidur. Gaya menontonnya pun beragam. Ada yang fokusnya setengah menonton (atau mungkin seperempat), sisanya melihat handphone. Ada yang sambil kerokan. Ada yang tidur di paha pasangannya. Tapi ya mungkin seperti ini kira-kira gambaran masyarakat Jakarta yang beragam.

Sebetulnya kalau mau serius menonton juga sulit. Kondisinya amat sangat ramai. Suara melalui speaker yang dipasang panitia sebenarnya hanya untuk melayani penonton yang di dalam saja. Jadi yang di bagian luar cuma dapat sisanya. Sisa-sisa suara itu masih harus diperebutkan dengan banyaknya pedagang yang berlalu-lalang, suara anak kecil menangis, atau suara orang-orang yang sedang bercendi gkrama. Maka saya tidak tahu, kenapa ibu-ibu di sebelah saya tadi sampai serius sekali menontonnya. Bahkan sesekali tertawa. Padahal tidak kedengaran apa-apa.

Tempat saya menonton juga sempat rusuh. Ada seorang bapak-bapak sedang menyewakan tikar miliknya. Dengan lantang ia berteriak “Lima ribu satu! Empat, dua puluh!”. Tidak lama, gerombolan ibu-ibu di belakang saya celoteh “Lah, itu mah sama aja pak!”. Ibu-ibu tersebut tampaknya ingin menyewa tikar dari si Bapak. Tikarnya sudah diambil, dan diduduki. Namun ketika hendak membayar, Ibu-Ibu ini menawar. “Tiga ribu aja lah pak!”.

Entah karena si Bapak ini belum makan malam, atau mungkin bingung untuk membayar tagihan yang jatuh esok hari, dengan paksa ia merebut tikar tersebut. Lalu ia berteriak. “UDAH SINI KALAU ENGGAK MAU YAUDAH. UDAH DIBILANG LIMA RIBU JUGA. ORANG UDAH TERIAK-TERIAK SAMPE SUARA SEREK GINI,”

Sejenak saya merasa seperti ada di teater dalam teater.

Suasana sempat tenang sampai beberapa menit kemudian ada penjual es krim lewat. Kalau cuma lewat sih mungkin masih mending ya. Tapi ini: lewat di depan kita pakai sepeda dengan lampu menyala di boks belakang serta musik dengan volume paling kencang. Ternyata si pedagang bukan cuma lewat. Tiba-tiba dia parkir. Di depan. Dan dia duduk manis ikut nonton.

Saya sih bukan mau melarang dia menonton dan fokus jualan saja. Tapi masalahnya sinar lampunya silau karena parkir benar-benar di depan saya. Belum lagi theme song es krimnya yang kencang. Akhirnya mas-mas es krim tersebut pergi. Diusir sama bapak-bapak di depan saya.

Cerita teater dalam teater ini ditutup ketika ada sepasang ondel-ondel lewat. Lengkap dengan ember, mereka meminta para pengunjung yang saat itu sedang duduk-duduk. Anaknya bapak-bapak yang ngusir mas-mas tukang es krim tadi langsung menjerit takut ketika ia bangun dari rebahan. Ya, siapa yang tidak kaget, kalau anda noleh, tau-tau ada ondel-ondel nyengir bawa ember cat di depan muka.

Mungkin akan menjadi sebuah cerita yang panjang jika kami menonton teater Ariah sampai habis. Tapi karena sudah tidak ada yang menarik, kami memutuskan pulang. Entah apa yang membuat orang-orang tadi masih betah berjam-jam menonton dari luar.

Sisi dalam teater Ariah seperti menggambarkan sisi glamor Jakarta. Kemewahan, keistimewaan. Tapi itu sisi kulitnya. Sisi intinya justru berada di luar, yang menjadi realita keseharian kota tersebut.

image

Layar Tancep dan Monas. Jakarta Banget.

Kenapa Mereka Begitu Mencintai JKT48

Image

ini bukan antri beras, tapi antri tiket masuk teater JKT48 (pic: @rinaatriana)

Bagaimana perasaan anda ketika anda mencintai seseorang, namun kesempatan untuk bertemu seseorang tersebut sangat terbatas? Selain itu, anda sadar jika orang tersebut tidak hanya dicintai oleh anda, namun ratusan, bahkan mungkin ribuan orang juga mencintai orang tersebut? Apa yang akan anda lakukan untuk menarik perhatiannya?

Setidaknya untuk menjawab pertanyaan tadi, saya akan bercerita tentang suatu hubungan. Proudly present: the fans of JKT48.

***

Saya terlebih dahulu akan melanjutkan cerita tentang pengalaman menonton JKT48 seperti yang sudah saya tulis di post sebelumnya. Ketika itu saya menonton hari Senin (1/4), saya memutuskan untuk menonton lagi hari Jumat (5/4). Hanya 4 hari saja jaraknya. Tapi setidaknya saya jadi tahu beberapa hal.

Pertama, saya melihat orang yang sama. Ya, gerombolan “ibu-ibu pengajian” yang saya lihat sebelumnya, saya melihat mereka kembali. Beberapa fans pria juga saya kenali wajahnya, masih dengan atribut yang sama. Saya berasumsi, kebiasaan menonton di teater ini sudah menjadi rutinitas.

Masalahnya, saya adalah tipe orang yang sangat mudah bosan, apalagi jika sudah terlibat dengan yang namanya rutinitas. Jujur, bagi saya pengalaman menonton yang kedua ini membosankan. Sangat. Beberapa kali saya menguap, mungkin karena lelah berjam-jam mengantri juga karena saya tidak menemukan hal yang baru selama menonton. Lagu yang dibawakan pun sama.

Selain itu, teriakan para fans juga terdengar menarik ketika pengalaman pertama menonton. Saat menonton yang kedua ini, saya sebetulnya lebih ingin menikmati lagunya dengan bernyanyi bersama serta mendalami lirik-liriknya. Tapi tidak bisa, karena penonton di sini juga hanya pada bait tertentu saja mereka bernyanyi bersama. Mereka lebih sering meneriakkan nama member favorit mereka, atau berteriak siapa penyanyi pada bait tersebut.

Anda bayangkan dalam konser Titi DJ dan Ruth Sahanaya, mereka menyanyikan lagu berjudul Bahasa Kalbu. Ketika sampai ke lirik “Indah sanubarimu kasih, percayalah..” para penonton diam dan tidak ikut bernyanyi bersama. Alih-alih bernyanyi, usai bait “percayalah..” penonton justru berteriak “Yang paling lucu, Titi DJ!”.

Momen ketika penyanyi di panggung biasanya berteriak “Ayo nyanyi semua!” sepertinya tidak berlaku di sini. Dan teriakan yang sama, selama 2 jam, itu membosankan buat saya.

Cuma pertanyaannya adalah: Kenapa teater masih ramai dengan rutinitas ini? Mereka tidak bosankah?

Kenapa penonton yang saya lihat tidak jauh berbeda, tetap excited?

Dan pertanyaan besarnya adalah: Kenapa mereka begitu mencintai JKT48?

Beberapa orang yang saya tanya, umumnya menjawab: mereka lain dari yang lain. Semangat dan kerja keras mereka dari awal terbentuk sampai sekarang menjadi terkenal itu layak diapresiasi.

Namun saya yakin, jawaban yang bisa saya simpulkan sejauh ini sudah saya sebutkan melalui pertanyaan di awal paragraf tadi: terbatasnya interaksi. Semakin anda dibatasi, semakin anda bergejolak untuk keluar dari batas itu bukan? Dan ketika kesempatan interaksi itu ada –salah satunya melewati teater– mereka tidak akan melewatkan kesempatan itu begitu saja. Sesederhana itu.

Rasa cinta ini berkembang menjadi fanatisme. Sadar “saingan” mereka untuk memperebutkan hati orang yang mereka cintai banyak, maka hal-hal gila yang akan mereka lakukan. Segila mungkin. Sehingga bisa menarik perhatian. Hal-hal gila yang saya pernah lihat adalah:

1. Seorang fans memberikan hadiah telepon seluler kepada salah satu member favoritnya.

Image

Hadiah yang diberikan fans kepada Beby JKT48 (pic: @BebyJKT48)

Anda bayangkan saja secara akal sehat. Saya yakin para member pasti mampu membeli sendiri gadget ini. Biasanya juga mungkin seorang artis yang memberikan hadiah kepada fansnya, melalui kuis misalnya. Tapi di sini ceritanya lain.

2. Dalam sebuah event, seorang fans membawa anaknya.

Image

Event futsal JKT48 bersama fans (pic: @NabilahJKT48)

Jika anda seorang istri, atau seorang pacar, apa yang anda pikirkan jika pasangan anda menyukai wanita lain dengan kapasitas sama, atau lebih kepada anda? Cemburu? Mungkin saja.

Tapi bagaimana jika pasangan anda tadi sampai membawa anak kalian berdua untuk ikut sebuah event?

Tidak hanya para pria, wanita-wanita saat ini juga ternyata tidak mau kalah. Sabtu (13/4) yang lalu, JKT48 mengadakan event khusus teater bagi wanita dan anak-anak. Saya sempat ragu, teater akan penuh. Apalagi selama ini berkembang pemahaman jika fans-fans JKT48 didominasi oleh para pria saja.

Namun jika anda melihat lebih cermat foto yang saya tampilkan di bagian awal post ini, foto tersebut adalah antrian para wanita yang hendak menonton teater. Menurut cerita dari teman saya, suasana di dalam pun seramai ketika teater-teater biasanya. Ramai dengan chant, teriakan mendukung member favorit mereka.

Jika anda salah satu fans JKT48 dan kebetulan membaca tulisan ini, mengapa anda begitu mencintai mereka?

Pengalaman Pertama Bersama Adik-Adik JKT 48 (Part 2)

***

Pada part sebelumnya, saya bercerita mengenai proses awal menonton JKT 48 dari pemesanan tiket, bertemu Ayana, dan bertemu dengan berbagai jenis wota. Untuk part ini, saya akan bercerita tentang proses bingo, jalannya teater, sampai selesai teater.

Sekitar pukul 19.15, proses bingo untuk tiket hijau baru dimulai. Baru setelah itu tiket biru milik saya. Desak-desakan tentu saja, karena posisi menentukan prestasi untuk melihat para idol mereka. Proses bingo berlangsung, nomor bingo yang tertera di tiket dipanggil secara acak. 13! 1! Semua wota bersorak ketika nomornya dipanggil. Saat petugas berteriak “dua!”, antrean kami bersorak. Namun, tiba-tiba saja sang petugas menambahkan “belas!”. Bukan hari saya sepertinya.

Dan betul saja, nomor bingo saya dipanggil paling akhir. Berarti saya duduk di row belakang. Atau mungkin berdiri jika kursinya penuh. Apa boleh buat. Mungkin jadi poin tambahan jika saya duduk di belakang, karena bisa melihat seluruh kondisi teater.  Kursi yang tersedia di teater itu seperti kursi-kursi di warung makan. Kecil, dengan sandaran hanya sejengkal di atas pinggang. Sementara penonton berdiri di sediakan tempat khusus di belakang dengan pagar besi setengah badan.

Lightstick dinyalakan. Para wota sudah bersiap. Dan ya, saya baru duduk dan langsung dihajar dengan 4 lagu. Mereka membawakannya secara live, tidak lypsync. Goyangannya pun tidak enerjik dan asal-asalan. Padahal dalam satu minggu, mereka bisa show 3-4 kali. Ini masih di luar acara tv atau event-event lain. Belum juga dihitung kegiatan sehari-hari mereka, seperti sekolah. Namun mereka tidak tampak lelah. Konon katanya latihan fisik mereka ala militer, jadi memang beberapa member terlihat punya tangan yang kekar.

Selama mereka bernyanyi, para wota juga memiliki irama yang sama dalam mengayunkan lightstick mereka. Lengkap juga dengan chant, layaknya sedang menonton tim bola kesayangan. Teriakan yang saya dengar jelas hanya “Oi! Oi! Oi!” serta “Kawaii!” dan diakhiri dengan teriakan nama member yang saat itu sedang bernyanyi.

Usai membawakan 4 lagu, para member berkumpul di tengah, saling memperkenalkan diri kepada para penonton dengan teks hafalan yang mungkin akan terus sama dibawakan di tiap show. Kesempatan ini digunakan oleh para wota untuk meneriaki nama member favorit mereka, dan berharap member yang di panggung mendengar dan membalas dengan lambaian tangan mereka.

Sesi ini dinamakan MC, yang menjadi ajang interaksi, tapi lebih searah dari member kepada penonton. Biasanya mereka bercerita dengan topik tertentu yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Topik malam itu adalah: curhat. Saya akan ceritakan curhatan dari member yang menurut saya menarik saja.

Pertama, dari Jeje yang bercerita sewaktu SMA pernah kesal dengan seseorang, lalu ia mendorong orang tersebut sampai koma. Kemudian ada Melody, yang bercerita akan segera meninggalkan JKT 48 karena mau S2 di luar negeri. Kinal, -kapten dari JKT 48-  sambil menangis, ia mengungkapkan keinginannya untuk keluar karena ingin mendaftar sebagai Polwan.

Well, saya kaget juga dengan cerita-cerita ini. Salah satu membernya kriminal? Sementara member favorit dan leader mereka mau keluar? Mau jadi apa grup ini? Cerita semakin parah ketika Rica bercerita jika dia adalah lesbian, dan punya hubungan khusus dengan Sendy, salah satu member juga. Wow. Pengalaman pertama sudah disuguhkan dengan kenyataan seperti ini. Saya nyaris saja walkout, sampai sadar kalau ini tanggal 1 April. Ya, April Mop!

Ternyata benar saja, di akhir mereka mengaku jika cerita mereka tadi bohongan. Ya, who knows tapi mereka sudah berhasil membuat penonton terhibur. Ada kesan psikologis ketika teater ini hubungan antara fans dengan member terasa sangat intim. Terlebih karena di luar, hubungan antara fans dengan member sangat dibatasi, maka kesan itu akan sangat terasa kuat.

Total dalam teater ini, tim J dengan backdancer dari tim Trainee membawakan kurang lebih sekitar 17 lagu. Saya tidak hafal betul karena transisi antar lagu begitu cepat. Hal yang menarik adalah sebelum lagu terakhir, ada sebuah sesi di mana para fans berteriak “Ankoru! Ankoru!” (dalam bahasa Jepang, Ankoru berarti encore, atau ulangi) bergantian dari sisi sayap kiri ke sayap kanan. Hampir 2 menit non stop mereka berteriak. Dan setelah dihibur 2 jam, pertunjukan selesai.

Ketika teater usai, ada sesi di mana para penonton bisa tos langsung dengan para member. Jadi keluarnya pun mengantri. Kebanyakan para wota memilih keluar belakangan, karena dengan seperti itu di belakang mereka tidak terlalu banyak orang dan mereka bisa lebih lama ngobrol dengan member favorit mereka. Ini tentu momen yang sangat mahal karena pembatasan interaksi kepada member tadi.

Sesi Hi Touch

Sesi Hi Touch

Meskipun ini yang pertama dan dapat urutan terakhir, ini pengalaman yang sangat berkesan. Jadi kalau saya ditanya apakah ingin nonton lagi, why not?

NB: Foto-foto di cerita ini saya dapatkan di internet, karena mengambil gambar saat jalannya teater itu dilarang.

Pengalaman Pertama Bersama Adik-Adik JKT 48 (Part 1)

Ini adalah pengalaman pertama saya menonton teater JKT 48. Ada yang bilang jika para fans JKT 48 itu bagai kumpulan orang pedofilia, atau om-om senang yang mungkin belum beristri. Sebagian orang mungkin melihat jika JKT 48 itu bagai kumpulan ibu-ibu sedang senam jantung dari jauh. Tapi bagi saya, ini adalah sebuah fenomena yang menarik, yang akan terlihat jelas jika terlibat langsung.

Ketertarikan awal saya ke grup JKT 48 ketika melihat hashtag #OfficiallyMissingYouSonya di Twitter. Sonya adalah salah satu personel JKT 48, dan pada saat itu ia digosipkan akan grad –atau lulus, istilah JKT 48 jika ada personelnya yang keluar. Dari sana, saya semakin penasaran tentang kehidupan di balik grup ini. Mulai dari fans-nya yang fanatik, aturan di dalam grup, sampai ke kepribadian masing-masing personel.

Di saat yang sama, iklan salah satu produk operator telekomunikasi juga menjadikan JKT 48 sebagai brand ambassador-nya. Berulang kali iklan di tv menyetel lagu-lagu mereka. Karena sangat catchy, saya langsung coba download. Dan jadi ketagihan.

Kehadiran JKT 48 dalam iklan jadi salah satu momen yang paling saya tunggu. Apalagi kalau mereka jadi bintang tamu acara di TV. Tapi dari cerita-cerita yang saya kumpulkan di internet, mereka sepakat: belum seru kalau belum nonton di teater. Teater adalah sebuah panggung khusus milik JKT 48, letaknya di Fx Sudirman lantai 4. Jadi ada blok khusus. Luasnya mungkin kira-kira setengah-nya Department Store, tapi hanya satu lantai. Tapi ruangan untuk menontonnya mungkin hanya seluas 5 kali luas kelas di sekolah.

Akhirnya saya memutuskan pesan tiket untuk tanggal 1 April. Karena berdasarkan review-review yang saya baca, nonton saat weekdays itu tidak terlalu penuh. Namun saya harus memesan dulu via internet, sekitar 4 hari sebelum hari H. Ada kemungkinan untuk tidak mendapatkan tiket, karena setelah memesan, pesanan tersebut akan diundi. Setelah itu, pengumuman akan diberitahu melewati email. Dan ya, saya menang!

Pengumuman mengenai tiket itu saya dapatkan sehari sebelum hari H. Maka ketika saya dapat tiket, saya langsung cari semua review yang berhubungan dengan nonton di teater. Well¸saya tidak ingin jika sampai di sana saya kelimpungan. Maklum, mau menonton sendiri. Dan ternyata ada yang mempublikasikan via blog tentang tips nonton teater bagi pemula. Lumayan membantu.

Hari kebesaran akhirnya datang. Jadwal show tercatat pukul 19.00. Tapi saya harus menukar notifikasi email menjadi tiket dan membayarnya sejak pukul 16.30-18.00. Sementara yang sebelumnya tidak dapat tiket via email, mereka harus antri dan loket baru dibuka setelah pukul 18.00. Menurut cerita-cerita di review, mereka sudah memulai antrian bahkan 3 hingga 4 jam sebelum loket dibuka. Bakal sangat ramai pikir saya. Apalagi yang hari ini saya tonton adalah tim J, tim utama JKT 48 yang sering terlihat di TV.

Namun karena tiba-tiba saja angin mendung, saya yang tadinya ingin santai-santai saja berangkatnya jadi berangkat lebih awal. Benar saja, sebelum masuk Fx, hujan mulai turun rintik-rintik. Ketika masuk, saya agak lupa di mana lantai teater. Saya ingatnya di lantai 7. Akhirnya saya cuek saja naik eskalator. Namun sesampainya di lantai 5, saya curiga. Ini kenapa lantai 4 penuh sekali. Saya langsung cek email. Crap! Lantai 4. Akhirnya turun lagi satu lantai.

Cerita-cerita para fans (atau Wota, istilah Jepang yang berarti penggemar fanatik) sebelum teater bermacam-macam. Saya pernah membaca, salah satu fans yang menuju Fx naik bus Transjakarta sempat berada satu bus dengan salah satu personel  JKT 48. Dan di pengalaman saya menuju teater, saya juga bertemu dengan salah satu personel, yang saya amat sangat yakin, namanya adalah Ayana.

Saya bertemu Ayana karena insiden salah lantai tadi. Turun dari lantai 5 ke lantai 4, tiba-tiba dari arah foodcourt ada satu wanita, kecil, pakai kaos JKT 48 dengan make up tipis, namun mukanya sangat familiar. Ia kemudian menebar senyuman ke orang-orang yang melihat ke arahnya. Waktu saya yang melihat, ternyata bukan Cuma lempar senyum. Ayana juga memberikan kode dengan menggenggam tangannya, seolah menyimbolkan saya untuk semangat. Pertanyaannya, darimana dia tau kalau saya juga mau nonton ya?

Sampai di depan teater. Ternyata tidak terlalu ramai. Apalagi untuk ukuran tim J. Terlihat jelas dominasi para pelajar di sini. Atribut yang mereka gunakan akan terlihat bahwa mereka hendak menonton JKT 48, seperti kaos dengan logo grup tersebut, light stick, dan album foto. Ya, album foto! Jadi ketika anda berkeliling Fx, dan tiba-tiba melihat ada orang yang berkeliling bawa album foto, jangan anggap mereka tukang foto keliling, atau tukang afdruk. Album foto tersebut berisi foto member JKT 48 favorit mereka, atau mungkin semua dengan berbagai pose. Foto tersebut hendak dijual, atau saling tukar di antara para wota.

Fx, bagi para wota JKT 48 adalah tanah suci. Jadi mungkin mereka sudah paham betul mal ini, apalagi teater. Sebagai costumer anda tentu saja jarang berbincang dengan pemilik toko, atau mungkin satpam toko di mal. Namun di teater berbeda. Satpam kenal betul siapa saja yang sering datang. Wota dan satpam di teater terlihat intens berbincang satu sama lainnya, sebuah hal yang amat sangat jarang ditemui bukan?

Tiket akhirnya saya tukar, berwarna biru dan dengan nomor bingo 2. Warna yang didapat dari tiket yang dibeli adalah hijau dan biru, di mana warna hijau yang berhak masuk duluan. Sedangkan nomor bingo adalah nomor undian yang akan dikocok dan menentukan urutan masuk. Biasanya ada sekitar 10 orang dalam satu nomor bingo, sedangkan nomor bingo-nya mencapai 15.

Ketika waktu sudah semakin larut, berbagai keunikan para wota mulai terlihat. Yang pertama, wota wanita, yang pada malam itu, meskipun tidak banyak, namun wanita-wanita ini memakai jilbab-jilbab panjang. Semoga mereka tidak salah antri dan mengira ini acara tahlilan. Lalu, wota-wota pria yang tampak berusia 30-an. Menggunakan kemeja lengan panjang, celana bahan, pantovel. Seperti pulang kerja, dan anda tidak akan membayangkan jika ia ternyata ikut mengantri untuk menonton JKT 48.

Bersambung..